Jumat, 27 Juli 2007

Van den Bosch

Nama Johanes van den Bosch mungkin sudah tidak banyak yang tahu. Maklum, nama ini hanya dikenal dalam sejarah bangsa yang kini sudah tidak menarik lagi. Namun, salah satu gubernur jenderal Hindia Belanda yang sangat dikenal dengan sikap kontroversial dalam menerapkan politik cultuurstelsel atau tanam paksa.
Di balik sikapnya itu, sudah seharusnya kita ini berterima kasih kepadanya. Paling tidak, hasilnya sampai kini masih sangat terasa di Madiun. Buktinya, enam pabrik gula (PG) berdiri dalam satu wilayah eks karisidenan. Keberadaan PG tersebut menunjukkan, kalau sebenarnya memiliki potensi besar dalam dunia pertanian. Coba kita teliti saja, tidak ada satu pun wilayah eks karisidenan yang sampai memiliki enam pabrik.
Kalau di era Van den Bosch petani dijanjikan akan mendapatkan angin sorga. Ia memberi iming-iming pembebasan pajak bagi petani yang mengikuti programnya, menanam tebu, nila, kopi dan sebagainya. Hasilnya dibeli dengan harga pasar, tentunya harga versi penjajah yang sangat-sangat murah.
Politik yang dijalankan ini hasilnya sangat luar biasa. Dalam waktu yang sangat singkat, kerugian penjajah akibat perang Diponegoro bisa tertutupi. Bahkan, Belanda menjadi sangat dikenal sebagai eksportir gula, kapas, kopi dan lainnya dibutuhkan pasar dunia saat itu. Van den Bosch pun seakan menjadi pahlawan di negeri Kincir Angin itu, bahkan ia pun mendapat gelar kebangsawanan.
Kini zaman sudah berubah dan petani tidak dapat dipaksa lagi harus menanam tebu, kina, tembakau dan lainnya. Meski demikian, di sisi kehidupan lain pola ‘tanam paksa’ versi modern pun berkembang dengan pesat.
Kini, petani memang bebas mengolah lahannya, tapi ‘dipaksa’ meninggalkan lahan garapannya. Mereka tidak dapat berharap banyak dari hasil jerih payah mengolah lahannya. Harga bibit mahal, harga pupuk terus melambung, ongkos tenaga kerja yang besar, dan lainnya menjadi beban yang sangat besar. Sebaliknya, harga jual padi atau tanaman lainnya sangat rendah.
Kenyataan itulah menjadikan keluarga petani, kini lebih banyak memilih untuk merantau ke kota atau ikut menjadi buruh migran dengan harapan mendapat penghasilan yang lebih baik. Sebaliknya, lahan dan sawahnya yang sudah tidak lagi digarap dijual dan dibelikan kendaraan roda dua serta kebutuhan konsumtif lainnya.
Adopsi cultuurstesel-nya Van den Bosch versi modern tidak hanya di dunia pertanian yang mulai tergulung oleh arus kapitalisme. Karena di sektor ekonomi lainnya, seperti perbankan pun menggunakan pola yang serupa. Kelembutan lembaga perbankan dalam mengambil keuntungan nyaris tidak terasa. Ini dicontohkan melalui program automatisasi yang dibarengi iming-iming hadiah besar. Di balik itu, wajib hukumnya bagi nasabah menggunakan kartu ATM yang setiap bulannya secara otomatis tabungan milik nasabah dikurangi 7,5 ribu rupiah. Hasilnya sangat luar biasa, lembaga perbankan mampu meraup keuntungan sangat besar.
Politik cultuurstesel versi modern itu tidak hanya diterapkan di lembaga perbankan. Karena di institusi lain yang mengejar profit pun menggunakan cara yang sama.
Yang menjadi pertanyaan, adakah tanggung jawab sosial kepada masyarakat yang telah disedot tersebut? Pertanyaan ini muncul, karena masalah tanggung jawab sosial dianggap tidak masuk dalam dunianya.
Sejumlah kasus menunjukkan, kalau kedua prinsip itu digabung hasilnya justru kerugian. Ini sebagaimana yang terjadi pada BUMD (Badan Usaha Milik Daerah), misalnya PDAM yang tidak bisa menjalankan prinsip ekonomi sepenuhnya. Seperti dalam menentukan harga air yang dijual ke masyarakat, masih harus mempertimbangan pelayanan sosial. Ini yang banyak dijadikan alasan, mengapa BUMD mengalami kerugian.
Kalau dulu setelah masa kejayaan Van den Bosch berakhir, muncul politik etik sebagai balas budi kepada petani, kini muncul istilah CSR (Coorporate Social Responbility). Kini, bagi mereka yang semula ramai-ramai hanya mencari keuntungan, diwajibkan menyisihkan sebagian keuntungan untuk kepentingan sosial atau lingkungannya. Ya, mudah-mudahan tidak sekadar balas budi.
M Kahono TS

Tidak ada komentar: