Sabtu, 04 Agustus 2007

POLISI TIDUR

HM Kahono TS

Entah siapa yang kali pertama memberi istilah polisi tidur untuk sesuatu yang melintang di jalan dan bertujuan menghambat laju pengguna jalan. Tidak ada yang mempopulerkan melalui iklan atau pariwara lainnya. Kita hanya tahu dari sifat latah membangun rintangan di jalan yang sudah mulus.
Kini, polisi tidur semakin populer di mata warga Madiun. warga pun berkreasi dengan beraneka macam bentuk. Jalan masuk ke perkampungan, perumahan, termasuk jalan besar semakin banyak gundukan tanah yang dijadikan penghambat pengendara motor. Ada yang berlomba dalam ketinggian gundukan. Ada yang memberi sedikit toleransi kepada pengguna jalan, seperti memberi cat seperti zebra cross atau penyeberangan jalan. Ada juga yang sama sekali tidak mewarnainya, pokoknya apa adanya.
Maraknya polisi tidur itu tampaknya sempat membuat risau petinggi di lingkungan pemkot Madiun. Buktinya, memasuki bulan Agustus ini pemkot secara khusus mengeluarkan edaran yang menghimbau kepada warganya untuk membongkar polisi tidur. Atau, memperbaiki polisi tidur sesuai dengan peraturan perundangan yang ada.
Kalau pun pemkot risau adalah wajar dan sah-sah saja. Maklum, jalan kampung yang dibangun dengan mulus kini sudah bergelombang, penggunanya tidak bisa lagi menikmati mahalnya aspal hotmix. Tidak ada lagi puji-pujian dan rasa terima kasih. Karena semua sudah berbalik, ada yang hanya bisa nggrundel atau marah-marah di belakang strir kemudi, bahkan ada pula yang mengumpat.
Sebaliknya, warga yang membuat polisi tidur pun kini justru menjadi lebih tenang. Tidak ada lagi rasa waswas ada kendaraan ngebut, anak-anak kampung pun leluasa bermain di jalanan (maklum jalanan kini berubah menjadi arena bermain anak-anak). Kalau pun ada yang celaka, seperti jatuh lantaran aral melintang yang dibuatnya, mereka justru menyalahkan pengendaranya sendiri yang tidak mau bersikap hati-hati.
Fenomena maraknya polisi tidur di Kota Madiun ini memang sangat menarik dipelajari. Apa yang dilakukan warga itu, tidak semata-mata lantaran latah atau hanya ikut-ikutan. Kalau dilihat dari kacamata akademisi, apa yang dilakukan warga secara hampir bersamaan itu merupakan bentuk dari puncak kekesalan terhadap pengguna jalan raya. Ini sebagai akibat dari kian hilangnya rasa saling percaya dalam etika pergaulan sosial kita. Warga tidak lagi percaya kepada mereka yang memegang kemudi –baik roda dua atau empat—menjalankan kendaraannya dengan hati-hati, lebih mengutamakan keselamatan dan lainnya.
Sumber ketidakpercayaan warga itu bermula tidak digubrisnya semua rambu-rambu atau papan peringatan yang dipasang. Sebelum polisi tidur ini malang melintang di jalan, banyak kita lihat papan peringatan atau rambu lalu lintas. Dari peringatan yang halus sesuatu adat kita, seperti hati-hati banyak anak bermain, hati-hati jalan berlobang (meski tidak berlobang, pen.), sampai pada peringatan yang bersifat mengancam, bahkan menghakimi, misalnya ngebut benjut dan masih banyak peringatan lainnya.
Hilangnya rasa saling percaya dalam pergaulan sosial ini tidak hanya pada persoalan warga dengan pengguna jalan. Karena dalam kasus lain, seperti warga dengan pengamen dan pemulung pun mulai saling intip. Kini di sejumlah perumahan di Madiun mulai dipasang papan peringatan, pengamen/pemulung dilarang masuk dan sejenisnya. Ada seribu satu alasan warga memasang papan peringatan, seperti lantaran sering terjadinya kasus pencurian dan sejenisnya. Bukan tidak mungkin, bila papan peringatan itu tidak digubris akan berkembang sebagaimana polisi tidur.
Penurunan rasa saling percaya dalam pergaulan ini, merupakan wujud dari semakin melemahnya kepedulian dan kepekaan kita terhadap lingkungannya sendiri. Kini, Madiun yang masuk kategori kota kecil, sudah mulai muncul gejala tidak kenal dengan tetangga sendiri. Ada yang takut kalau dikatakan suka usil, ada pula yang memang tidak mau orang lain tahu.
Disisi lain, fenomena polisi tidur juga merupakan bentuk rasa frustrasi atau putus asanya warga terhadap kecepatan perkembangan teknologi yang tidak dibarengi penguatan etika. Mereka yang menggunakan kendaraan dan memiliki surat izin mengemudi (SIM), seringkali tidak tahu bagaimana etika orang mengemudi. Yang diketahui hanya bagaimana oper presneling, memacu kendaraan dengan sekencang-kencangnya dan seterusnya. Yang mereka pedulikan hanya memacu kendaraannya sebagaimana di jalan protokol. Orang jawa bilang gas pol, rem blong.
Sedang soal sesama pengguna jalan saling menghormati, nyaris tidak pernah dihiraukan. Misalnya, pengendara kendaraan bermotor harus mendahulukan para penyeberang jalan, memberi kesempatan kepada pengguna jalan lainnya dan lainnya.
Terlepas dari kontroversi maraknya polisi tidur yang ada Kota Madiun, tampaknya kasus ini sudah merupakan fenomena nasional. Apakah semua ini merupakan bentuk dari kian memudarnya soliditas kepedulian dan kepekaan sosial kita? Mumpung di bulan Agustus, mari kita renungkan bersama.

Tidak ada komentar: