Rabu, 27 Februari 2008

POLITIK UANG, PILIHAN RASIONAL PEMILIH

Lilik Suhariyanto
Dua Kabupaten --Madiun dan Magetan-- tidak lama lagi menggelar pemilihan kepala daerah. Dalam pesta demokrasi di kedua daerah ini, bayang-bayang politik uang sudah sedemikian kuatnya. Dari pengalaman pesta demokrasi di tetangganya, menunjukkan calon yang tidak memiliki bekal besar harus menerima kenyataan pahit. Mengapa?
Politik uang itu sendiri sebenarnya merupakan salah satu cacat yang mengiringi tumbuh kembangnya demokrasi di Indonesia. Kenyataan ini menunjukkan, ekonomi tidak bisa dipisahkan dari politik. Dalam kasus ini tidak ada pihak yang bertanggungjawab sepenuhnya, yakni calon pemegang kekuasaan atau masyarakat. Sebab kedua pihak saling membutuhkan.
Latar belakang munculnya politik uang ini mulai bergeser. Kalau sebelumnya lebih disebabkan keinginan sang calon mendapatkan suara, kini pemilih atau konsituen yang membutuhkannya. Ini disebabkan adanya persepsi masyarakat terhadap mereka yang macung –baik legislatif maupun macung lurah, bupati/walikota-- adalah orang-orang yang memiliki uang lebih.
Di sisi lain, masalah politik uang ini terjadi sebagai bentuk balas dendam pemilih sejak masa reformasi. Impian mendapatkan wakil rakyat, kepala daerah yang benar-benar menyerap aspirasinya kian hilang. Sebaliknya, manakala mereka sudah duduk di kursi jabatanya melupakan janji janji manis semasa kampanyenya. Pengalamannya sudah mengajarkan, bagaimana mereka setelah terpilih tidak mau lagi memperhatikan pemilihnya.
Rakyat pemilih juga memahami proses kampanye dalam pemilu dalam kerangka hukum ekonomi, yaitu permintaan dan penawaran. Dari sisi permintaan, rakyat pemilih menyadari, para caleg amat berhasrat untuk terpilih namun kursi yang tersedia dalam legislatif terbatas. Dari sisi penawaran, pemilih menyadari, mereka amat bernilai untuk memenuhi hasrat para caleg. Terlebih jika pemilih menyadari, para caleg tidak memiliki misi dan visi yang dapat menciptakan basis pendukung ideologis di masyarakat.
Fenomena politik uang dalam derajat tertentu dapat dianggap suatu pilihan rasional, baik dari kalkulasi para caleg maupun rakyat pemilih. Hanya saja, akibat bagi proses demokratisasi perlu dicermati. Salah satu yang paling mencolok adalah politik seakan seperti sebuah usaha. Uang dikeluarkan agar terpilih ini dapat disamakan sebagai investasi. Kapan pengembaliannya, yakni pada saat setelah seorang politisi terpilih. Jika ini terjadi, dipastikan upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme akan mengalami kesulitan besar dan ekonomi biaya tinggi akan terus berlangsung di negeri ini.
Memang hampir tidak mungkin untuk membayangkan suatu proses politik demokrasi tanpa kehadiran uang. Kegiatan-kegiatan kampanye, baik melalui cara-cara tradisional seperti arak-arakan di jalan maupun media elektronik, pasti membutuhkan biaya. Di Amerika Serikat sendiri, peran uang hampir tidak dapat dihilangkan, seperti diuraikan Don Clawson dkk dalam Money Talks (1992). Yang sedikit membedakan adalah uang yang digunakan, tidak digunakan langsung dan terang-terangan untuk membeli suara rakyat pemilih. Uang itu digunakan untuk mendanai kampanye dan untuk menciptakan citra yang baik bagi caleg. Meski demikian, harus dicatat, fenomena "uang untuk demokrasi" bukan tanpa bahaya karena biasanya akan didanai perusahaan-perusahaan raksasa yang kemudian berperan sebagai lobi politik yang signifikan.
Dalam konteks perjalanan politik di Indonesia, pantas dicatat fenomena politik uang. Pada masa Orde Baru, uang itu berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara saat setiap partai mendapatkan sumbangan dari pemerintah. Adapun dalam masa reformasi untuk pemilu belum lama ini, partai tidak lagi mendapatkan dana semacam itu.
Mereka harus menggali dana sendiri, namun mekanisme fund raising yang dilakukan partai-partai itu sebagian besar tidak berasal dari masyarakat umum dan hanya tampak semarak menjelang kampanye.
Di luar partai politik, fenomena politik uang juga muncul di kalangan LSM yang mendapatkan dana dari berbagai lembaga dana luar negeri untuk menjalankan demokrasi sebagai "proyek", seperti melalui bantuan program pendidikan pemilih dan program penataan sistem pemilihan. Oleh Peter Burnell, dalam Democracy Assistance (2000) bantuan dana untuk proyek demokrasi ini disebutnya sebagai bantuan demokrasi.
Apakah politik uang akan mengakibatkan pemahaman yang bias tentang apa yang dimaksud dengan demokrasi. Politik uang akan mengakibatkan para caleg melihat pemilu sebagai sarana untuk mencari kekayaan, sementara politik uang akan mengakibatkan politik dikuasai para pemilik modal besar. Adakah jalan keluar dari perangkap ini?
Fenomena politik uang mungkin dapat diminimalkan jika tidak terjadi ketimpangan sosial-ekonomi dalam masyarakat sehingga suara pemilih tidak dapat dibeli. Sebaliknya, fenomena "uang untuk demokrasi" mungkin dapat diminimalkan jika ada keterlibatan masyarakat umum secara luas dalam fund raising untuk partai politik dan jika partai politik, termasuk LSM yang bergerak dalam penguatan demokrasi, mau mengumumkan kepada publik daftar nama individual dan lembaga yang memberikan sumbangan kepada mereka.
Jika ini tidak dapat dilakukan, proses pembuatan pendapat umum melalui demokrasi di Indonesia hanya akan dikuasai para tirani uang. Situasi ini mengingatkan penulis pada apa yang dicemaskan Alexis de Tocqueville, beberapa ratus tahun lalu saat menyatakan, ancaman terbesar terhadap kebebasan sebenarnya berasal dari demokrasi itu sendiri. Karena itu, bukan tidak mustahil untuk menyatakan, ketika pembuatan proses pendapat umum telah dikuasai para pemilik uang dan kebebasan berpendapat tidak lagi muncul secara alamiah, kita akan mendengar ungkapan dalam kampanye pemilu untuk calon presiden mendatang "panjenengan capres toh, mbok duite didum-dum". Suatu ungkapan protes dan politik balas dendam dari publik.

Sekilas Madiun

Tragedi Terjun Bebas Arie Widianto

MAGETAN Sekilas– Arie Widianto, 17, siswa SMKN I Madiun bunuh diri dengan cara terjun bebas di dari jembatan Kali Gandong setinggi 30 meter. Aksi bunuh diri ini cukup mengagetkan, karena berpola yang sama dengan kasus sebelumnya yang dilakukan Desy Rosiyanti, siswi SMKN Bonaventura.

Mobil Camat Ganti Baru

NGAWI Sekilas– Camat-camat di Ngawi boleh bergaya. Mobil usangnya yang sudah berumur 10 tahun bakal segera diganti. Pemkab dengan dana dari APBD 2008 sudah mengalokasikan untuk menggantinya.

Anggota PPK Terima Honor

MADIUN Sekilas– Tugas ganda tidak harus diikuti penghasilan dobel. Ini sebagaimana yang diterima anggota Panitia Penyelenggara Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) di Kabupaten Madiun. Meski mereka dipersiapkan untuk bertugas menghitung suara dalam Pemilihan Bupati (pilbup) dan Pemilihan Gubernur (Pilgub), namun mereka baru menerima honor pilbup.
Untuk penyelenggara Pilbup Madiunanggota PPK akan menerima rapel honor selama dua bulan sebesar Rp 350. Sedangkan anggota PPS sebesar Rp 250 ribu per bulan.

Kapolres di Praperadilkan

MAGETAN Sekilas– Gara-gara menangkap seorang warga yang diduga menjual toto gelap (togel) Kapolres Magetan dipraperadilkan. Gugatan pra peradilan itu diajukan Pudji Santoso, kuasa hukum Yatmirah warga Desa Ngumpul Kecamatan Barat.

Polisi Tetapkan Tiga Tersangka

MAGETAN Sekilas– Polisi menetapkan tiga tersangka dalam kasus keracunan massal siswa SDN Desa Puntuhukdoro. Ketiga tersangka itu yakni Ngatinah, 64, Rubinah, 56, keduanya warga Desa Punthukdoro dan Hj. Sutini, 35, warga Rungkut Surabaya. Ketiganya dijadikan tersangka dengan peran yang berbeda. Ngatinah sebagai penjual makanan kadaluwarsa. Rubinah, disangka sebagai pemasok Ngatinah. Sedang Sutini yang juga anak Rubinah adalah orang yang memasok barang-barang kadaluwarsa itu dari Surabaya.

Tanah Longsor Telan Korban Jiwa

PONOROGO Sekilas– Akibat tanah longsor di Slahung, Ponorogo, kerugian yang diderita korban mencapai Rp 125 juta. Angka ini dihitung dari tiga rumah yang rata dengan tanah. Selain itu, bencana ini yang menewaskan bayi berusia 7 bulan.

ADA DI GENGGAMAN

HM KAHONO TS

HARI ini, 9 Februari merupakan hari bersejarah bagi insan pers. Tahun ini, masyarakat pers genap memasuki tahun ke-62. Ini terhitung sejak kali wartawan Indonesia menggelar kongres di Kota Solo.
Kalau umur pers Indonesia disamakan dengan perkembangan manusia, tentu sudah dianggap memasuki usia senja yang kenyang akan asam garamnya kehidupan. Dengan pengalamannya itulah, pikiran dan langkahnya sudah lebih arif dan bijak. Paling tidak sudah menjadi panutan bagi anak dan cucunya.
Mengumpakan lamanya perjalanan pers Indonesia dengan umur manusia tentu tidaklah tepat. Masalahnya, pers di Indonesia sebenarnya sudah lahir jauh sebelum wartawan menggelar kongres di Solo. Dan, paling penting adalah dalam kondisi apapun pers tidak akan pernah mati. Ini telah dibuktikan, seiring dengan sejarah bangsa.
Pada masa pemerintahan orde lama, sejumlah surat kabar diberangus oleh penguasa. Hal serupa juga terjadi di masa pemerintahan orde baru, beberapa surat kabar dan majalah dibredel. Nyaris tidak ada ruang gerak bagi masyarakat pers, kecuali menuruti kemauan sang penguasa.
Memasuki era reformasi, pers seakan baru lahir dalam dunia yang sebenarnya. Tumbuh dan berkembang sebagaimana peran yang harus dijalankan dalam tatanan sosial. Kebebasan pers yang selama puluhan tahun diimpikan pun menjadi kenyataan.
Setelah berhasil merengkuh kebebasan apakah tugas pers sudah selesai? Jawabnya tentu saja belum. Ternyata masih banyak yang harus diselesaikan di dalam lingkungan insan pers itu sendiri. Karena makna kebebasan pers itu ditangkap secara berbeda.
Akibatnya, ada sebagian masyarakat yang menilai kebebasan pers dianggap sudah kebablasan. Tidak hanya sebatas persoalan yang menyangkut kepentingan umum, tapi ruang-ruang pribadi yang selama ini tabu dalam tatanan kehidupan sosial dimasuki. Seakan sudah tidak ada lagi tembok atau tatanan nilai yang membatasinya.
Kenyataan tersebut menjadikan pers menjadi sosok yang sangat menakutkan. Puncak dari ketakutan diwujudkan dalam kemarahan yang luar biasa dan menjadikan kekuatan otot yang berbicara. Ini setelah mereka tidak tahu harus berbuat apa dalam menghadapi pers.
Yang menyedihkan, kondisi yang kurang sehat bagi perkembangan pers ini justru banyak yang memanfaatkan. Ada yang menjadikan sebagai media mencari popularitas, simpati dan lainnya. Di sisi lain, pers dijadikan alat untuk meraup keuntungan sesaat dengan cara menerbitkan surat kabar, majalah dan lainnya. Mereka sebenarnya tahu mengelola perusahaan pers tidak segampang yang dibayangkan. Karena tidak hanya membutuhkan dana yang super besar, tapi juga harus dilandasi berbagai pertimbanga. Termasuk idealisme pers dan kerja keras dari semua awak yang menukanginya.
Yang mampu melawan pertumbuhan pers bagaikan jamur di musim penghujan itu hanyalah hukum alam. Mereka yang menjadikan pers sebagai alat untuk mencapai kepentingan pribadinya pun satu demi satu rontok. Masyarakat kita yang sudah dewasa tidak dapat dibodohi. Mereka sudah pintar dalam menilai dan menjadikan profesionalisme sebagai salah satu takaran. Ini dapat diartikan, media yang dikelola tanpa dilandasi sikap yang profesional dari awaknya, tidak bakal bertahan lama.
Seiring sudah semakin dewasanya masyarakat, tentunya insan pers harus tahu diri. Tuntutan profesional tidak sekadar kemampuannya dalam meraup keuntungan bagi perusahaan penerbit, tapi juga kemampuannya dalam menyajikan berita yang kritis, obyektif dan independen.
Sudah sewajarnya di hari yang bersejarah ini, insan pers kembali melakukan intropeksi diri. Kebebasan pers sudah ada dalam genggaman tangan. Mau dilepas atau tetap dalam genggaman, semua tergantung insan pers.

Analisa Kebijakan Pemkot Madiun Menangani Anak Jalanan

Permasalahan
Ketika krisis menghantam Indonesia secara berkepanjangan, menjadikan hampir semua sektor terpuruk, diantaranya sektor ekonomi, ketersediaan pangan, politik menjadikan situasi berubah dengan sangat cepat. Krisis ekonomi yang diperberat oleh terjadinya berbagai bencana menyebabkan banyak keluarga mengalami keterpurukan ekonomi akibat pemutusan hubungan kerja, menurunnya daya beli dan harga barang yang terus melambung tak terjangkau sehingga tak lagi dapat memenuhi hak dan kebutuhan anak.
Akibat lebih jauh yaitu banyaknya anak yang terpaksa meninggalkan sekolah guna mencari nafkah. BPS mengumumkan bahwa penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada bulan Maret 2006 sebesar 39.05 juta (17,75 persen). Ini dibanding dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 persen) maka telah terjadi peningkatan penduduk miskin sebesar 3,95 juta. (Berita Resmi Statistik No 47/IX Septermber 2006)
Melonjaknya angka penduduk miskin menunjukkan bahwa semakin meningkatnya ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti untuk kebutuhan pangan, pakaian, pendidikan, kesehatan dan perumahan. Kondisi ini mengakibatkan semakin meningkatnya permasalahan sosial lainnya. Seperti anak jalanan, pelacuran anak, anak terlantar, pemukiman kumuh, wanita rawan sosial ekonomi, lanjut usia terlantar dsb.
Berdasarkan data dari Departemen Sosial RI pada tahun 2005, masalah anak di Indonesia seperti kekerasan pada anak, anak jalanan, anak terlantar dan sebagainya masih cukup tinggi. Jumlah anak jalanan di Indonesia sekitar 30.000 dan dari jumlah tersebut, 30.000 anak jalanan ada di DKI Jakarta. Sedangkan balita terlantar pada tahun 2005 tercatat ada 1.138.126 anak dan anak terlantar ada 3.308.642 orang. Diperkirakan pula setiap 1-2 menit terjadi kekerasan pada anak di Indonesia.
Persoalan anak jalanan sudah lama disorot. Namun, untuk mengurai persoalan ini tidak mudah sebab menyangkut perut banyak orang. Penghasilan satu anak jalanan mencapai angka Rp 12.000 sampai Rp 15.000. Akibatnya, anak-anak jalanan enggan diajak kembali habitat ”normal” anak umumnya, misalnya untuk bersekolah. Mereka lebih menikmati bermain dan mencari uang di pinggir jalan. Inilah yang mempersulit kinerja pembina anak jalanan untuk mengatasi mereka.
Meningkatnya angka anak jalanan, mengikuti hukum ekonomi, atau mengikuti pepatah ”ada gula ada semut”. Pada saat krisis ekonomi justru jumlah anak jalanan meningkat 400 persen.
Untuk itu mengembalikan dan menekan anak kembali ke jalanan, sejumlah kebijakan telah diambil pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah. Untuk Kota Madiun misalnya, secara khusus mengeluarkan Perda No 4 tahun 2006 tentang penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum. Dalam perda ini mengatur tentang larangan mengamen, meminta dan berjualan di perempatan jalan.
Kebijakan Pemkot Madiun ini merupakan salah satu cara untuk menekan anak-anak bermasalah, baik disebabkan bermasalah di rumah atau disebabkan putus sekolah menjadi anak jalanan. Sekaligus mencegah anak-anak kehilangan haknya sebagaimana anak normal lainnya..
Apa yang dilakukan Pemkot Madiun melalui peraturan daerah yang mengatur larangan melakukan aktifitas ekonomi yang abnormal di perempatan jalan tersebut, terkait dengan penanganan terhadap permasalahan anak di Indonesia, Pemerintah Indonesia pada tahun 2002 mensahkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang bertujuan untuk “…menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera”.
Secara umum, anak jalanan meliputi dua kelompok. Yakni, anak jalanan yang masih tinggal dengan orantuanya atau keluarganya (children in the street) dan anak jalanan yang benar-benar lepas dari keluarganya serta hidup sembarangan di jalanan (children of the street). Usia mereka 6-15 tahun.
Anak-anak merupakan kelompok masyarakat yang paling rentan di dalam masyarakat, sehingga memerlukan perlindungan khusus bagi mereka. Masalah anak yang membutuhkan perlindungan khusus sangat erat dikaitkan dengan isu makro, terbatasnya akses pada sumber masyarakat seperti kesehatan dan pendidikan. Krisis di Indonesia telah terjadi begitu luas dan dalam dampaknya, namun sejauh ini tak seorangpun tahu dengan persis bagaimana dampaknya bagi anak. Bagaimanapun, mengingat sebab serius dari keberadaan anak yang membutuhkan perlindungan khusus ini adalah masalah makro, krisis ini dipastikan akan menyeret sejumlah anak ke dalam situasi sulit atau semakin sulit dimana perlindungan khusus mereka dibutuhkan.
Munculnya anak jalanan merupakan salah satu persoalan yang diakibatkan kian tingginya angka kemiskinan yang diakibatkan krisis ekonomi berkepanjangan.
Kajian Teori
Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang ditandai oleh pengangguran dan keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi. Menurut Ginanjar (1996:235) keadaan kemiskinan umumnya diukur dengan tingkat pendapatan dan membedakan menjadi dua, yaitu :
1. Kemiskinan absolut
Seseorang dikatakan miskin secara absolut apabila tingkat pendapatannya lebih rendah daripada garis kemiskinan absolut atau dengan kata lain jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum yang dicerminkan oleh garis kemiskinan absolut tersebut. Standar yang digunakan berdasarkan Biro Pusat Statistik (BPS) untuk mengukur garis kemiskinan adalah pengeluaran minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kebutuhan minimum untuk hidup ini diukur dengan pengeluaran untuk makanan setara 2.100 kalori per kapita per hari ditambah pengeluaran untuk kebutuhan non makanan yang meliputi perumahan, berbagai barang dan jasa, pakaian dan barang tahan lama.

2. Kemiskinan relatif.
Kemiskinan absolut umumnya disandingkan dengan kemiskinan relatif. Kemiskinan relatif adalah keadaan perbandingan antara kelompok pendapatan dalam masyarakat, yaitu antara kelompok yang mungkin tidak miskin karena mempunyai tingkat pendapatan yang lebih tinggi daripada garis kemiskinan, dan kelompok masyarakat yang relatif lebih kaya. Dengan menggunakan ukuran pendapatan, maka keadaan ini dikenal dengan ketimpangan distribusi pendapatan.
Selain itu Ginanjar (1996:235-236) memaparkan, berdasarkan pola waktunya kemiskinan dapat dibedakan menjadi :
1. Persistent poverty yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun. Daerah seperti itu pada umumnya merupakan daerah-daerah yang kritis sumber daya alamnya, atau daerah yang terisolasi.
2. Cyclical poverty, yaitu kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan
3. Seasonal poverty, yaitu kemiskinan musiman seperti sering dijumpai pada kasus nelayan dan pertanian tanaman pangan.
4. Accidental poverty, yaitu kemiskinan karena terjadinya bencana alam atau dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya suatu tingkat kesejahteraan masyarakat.
Ditinjau dari penyebab kemiskinan, Ginanjar (1996:240) menggolongkan dalam dua jenis, yaitu :
1. Kemiskinan kultural, mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budayanya. Mereka sudah merasa kecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak terlalu tergerak berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupannya sehinga menyebabkan pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang umum dipakai.
2. Kemiskinan struktural, keadaan dimana pemilikan sumber daya yang tidak merata, kemampuan masyarakat yang tidak seimbang dan ketidaksamaan kesempatan dalam berusaha dan memperoleh pendapatan. Ketimpangan ini pada gilirannya menyebabkan perolehan pendapatan tidak seimbang dan selanjutnya menimbulkan struktur masyarakat yang timpang.
Sementara menurut Supriatna (1997:20) kemiskinan disebabkan oleh dua bentuk tantangan transformasi, yaitu :
1. Tantangan transformasi eksternal, meliputi :
a. Perkembangan sosial ekonomi dan teknologi yang acapkali tidak menguntungkan masyarakat pedesaan, bahkan banyak menimbulkan kesenjangan dan goncangan tatanan kehidupan sosial ekonomi.
b. Rangsangan media massa yang cenderung membangkitkan angan-angan terhadap kepemilikan barang konsumtif dan kebutuhan lainnya yang tidak diimbangi dengan kemampuan masyarakat untuk memiliki, menggunakan dan memeliharanya.
2. Tantangan transformasi internal, meliputi :
a. Tekanan pertambahan penduduk yang tidak diimbangi oleh pertumbuhan ekonomi yang memadai.
b. Dorongan urbanisasi untuk mendapatkan pekerjaan, pendidikan dan pemenuhan kebutuhan lainnya di kota, yang sarat dengan berbagai fasilitas.
Ginanjar (1996 : 240-241) juga menjelaskan mengenai kondisi kemiskinan disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat penyebab berikut ini :
1. Rendahnya taraf pendidikan, taraf pendidikan yang rendah mengakibatkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan menyebabkan sempitnya lapangan kerja yang dapat dimasuki. Taraf pendidikan yang rendah juga membatasi kemampuan untuk mencari dan memanfaatkan peluang.
2. Rendahnya derajat kesehatan, taraf kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir dan prakarsa.
3. Terbatasnya lapangan kerja, keadaan kemiskinan karena kondisi pendidikan dan kesehatan diperberat oleh terbatasnya lapangan kerja.
4. Kondisi keterisolasian, banyak penduduk miskin secara ekonomi tidak berdaya karena terpencil dan terisolasi.
Keempat penyebab yang diuraikan diatas menunjukkan adanya lingkaran kemiskinan. Keluarga miskin pada umumnya berpendidikan rendah dan terpusat di daerah pedesaan. Karena pendidikan rendah, produktivitas pun rendah sehingga imbalan yang diterima tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, antara lain pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk dapat hidup dan bekerja. Akibatnya, rumah tangga miskin akan menghasilkan keluarga-keluarga miskin pula pada generasi berikutnya.

Padukan Dua Kutub Kemiskinan

M Kahono Teguh S

Hasil riset The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP) yang menunjukkan adanya insiatif baru keberpihakan Ormas Islam terhadap pengentasan kemiskinan sangat menarik (JP, 15/10/07). Karena masalah pengentasan kemiskinan sebenarnya sudah puluhan tahun dibicarakan dan dilakukan, namun hasilnya yang muncul adalah angka orang miskin bertambah besar. Ini sebagaimana yang diumumkan Badan Pusat Statistik dalam Berita Resmi Statistik No 47/IX September 2006, menyatakan bahwa penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada bulan Maret 2006 sebesar 39.05 juta (17,75 persen). Dibanding dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 persen) maka telah terjadi peningkatan penduduk miskin sebesar 3,95 juta.
Melihat data dari BPS tersebut, muncul sejumlah pertanyaan mengapa semakin sering dibicarakan dan diprogramkan, angka warga yang miskin justru semakin bertambah? Mungkinkah selama ini tentu ada sesuatu yang salah dalam pengentasan kemiskinan? Dan pertanyaan lainnya.
Sepintas melihat hasil riset JPIP tentang inistiatif baru ormas Islam menjadi sangat menarik. Karena ada pandangan baru dalam mengentas kelompok masyarakat terbawah ini. Setidak-tidaknya, kini ada upaya pengentasan yang dilakukan secara menyeluruh. Tidak lagi secara parsial yang bersumber dari keyakinannya soal penyebab kemiskinan itu sendiri.
Selama ini, pola pengentasan kemiskinan terkesan hanya melihat dari satu sisi sesuai dengan aliran pengetahuan yang dianutnya. Mana yang benar? Bisa jadi dua-duanya benar. Sebaliknya, bisa pula dua-duanya salah. Buktinya, program pengentasan kemiskinan selama bertahun-tahun dan selalu berganti kutub pun tidak mendapatkan hasil yang konkrit, kecuali angka kemiskinan semakin menggelembung dan semakin tidak jelasnya kriteria miskin. Kemiskinan yang terjadi diakibatkan belum terwujudnya kebutuhan hidup minimal, sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Ini disebabkan adanya kelemahan, seperti terbatasnya aksesnya kepada sumber ekonomi.
Mereka yang berkeyakinan, kemiskinan diakibatkan faktor kultural memiliki keyakinan lemahnya etos kerja, tidak dimilikinya etika wirausaha, atau karena budaya yang tidak terbiasa dengan kerja keras merupakan sumber utama kemiskinan. Karena itu, lebih mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat lantaran gaya hidup, kebiasaan hidup dan budayanya. Mereka merasa kecukupan dan tidak merasa kekurangan. Mereka ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak terlalu tergerak berusaha untuk memperbaiki kehidupannya. Akibatnya, pendapatan mereka rendah menurut takaran yang umum dipakai. Untuk itu, prioritas utama pengentasan adalah pembekalan pada sumber daya manusia (SDM) dengan menyuntik virus Need Achievmen (kebutuhan berprestasi)-nya David Mc Clelland. Hasil temuan JPIP menunjukan adaya aktivitas pelatihan, seminar, halaqah dan sejenisnya, merupakan salah satu cara menyuntik virus N-Ach.
Di sisi lain, ada pakar yang berkeyakinan sumber kemiskinan berasal dari struktur yang tidak adil serta akibat perilaku kelompok sosial yang berkuasa. Pemilikan sumber daya yang tidak merata, kemampuan masyarakat tidak seimbang dan ketidaksamaan kesempatan dan lainnya. Ketimpangan ini menyebabkan ketidakseimbangan pendapatan dan selanjutnya menimbulkan struktur masyarakat yang timpang. Untuk itu, perlu perbaikan struktur masyarakat jika mau mengentas kemiskinan. Sebagaimana yang dilakukan ormas Islam dengan membangun gerakan bersama antarormas.
Kalau melihat hasil riset JPIP tersebut apa yang dilakukan sejumlah ormas Islam dengan memasuki ranah kebijakan, merupakan upaya mensinergikan dua pandangan yang berbeda tersebut seputar sumber kemiskinan. Satu sisi, secara kultural keterlibatan ormas Islam akan lebih mudah dipahami dan diikuti oleh kalangan masyarakat bawah. Ini dapat dimaklumi, karena diantara keduanya mempunyai ikatan emosional. Di sisi struktural, masuknya ormas tersebut merupakan upaya untuk mengubah situasi yang tidak adil secara strutural menjadi adil bagi semua kelompok masyarakat.
Memadukan dua model pengentasan kemiskinan memang sebuah keharusan dalam masyarakat yang pluralistik ini memang sangat sulit. Diperlukan kesabaran dan keuletan untuk melihat hasil nyatanya, karena waktu yang diperlukan cukup lama. Terobasan ini setidak-tidaknya untuk memanjangkan waktu munculnya perilaku negatif akibat aktualisasi kemiskinan yang dialami sekelompok masyarakat miskin.