Rabu, 27 Februari 2008

ADA DI GENGGAMAN

HM KAHONO TS

HARI ini, 9 Februari merupakan hari bersejarah bagi insan pers. Tahun ini, masyarakat pers genap memasuki tahun ke-62. Ini terhitung sejak kali wartawan Indonesia menggelar kongres di Kota Solo.
Kalau umur pers Indonesia disamakan dengan perkembangan manusia, tentu sudah dianggap memasuki usia senja yang kenyang akan asam garamnya kehidupan. Dengan pengalamannya itulah, pikiran dan langkahnya sudah lebih arif dan bijak. Paling tidak sudah menjadi panutan bagi anak dan cucunya.
Mengumpakan lamanya perjalanan pers Indonesia dengan umur manusia tentu tidaklah tepat. Masalahnya, pers di Indonesia sebenarnya sudah lahir jauh sebelum wartawan menggelar kongres di Solo. Dan, paling penting adalah dalam kondisi apapun pers tidak akan pernah mati. Ini telah dibuktikan, seiring dengan sejarah bangsa.
Pada masa pemerintahan orde lama, sejumlah surat kabar diberangus oleh penguasa. Hal serupa juga terjadi di masa pemerintahan orde baru, beberapa surat kabar dan majalah dibredel. Nyaris tidak ada ruang gerak bagi masyarakat pers, kecuali menuruti kemauan sang penguasa.
Memasuki era reformasi, pers seakan baru lahir dalam dunia yang sebenarnya. Tumbuh dan berkembang sebagaimana peran yang harus dijalankan dalam tatanan sosial. Kebebasan pers yang selama puluhan tahun diimpikan pun menjadi kenyataan.
Setelah berhasil merengkuh kebebasan apakah tugas pers sudah selesai? Jawabnya tentu saja belum. Ternyata masih banyak yang harus diselesaikan di dalam lingkungan insan pers itu sendiri. Karena makna kebebasan pers itu ditangkap secara berbeda.
Akibatnya, ada sebagian masyarakat yang menilai kebebasan pers dianggap sudah kebablasan. Tidak hanya sebatas persoalan yang menyangkut kepentingan umum, tapi ruang-ruang pribadi yang selama ini tabu dalam tatanan kehidupan sosial dimasuki. Seakan sudah tidak ada lagi tembok atau tatanan nilai yang membatasinya.
Kenyataan tersebut menjadikan pers menjadi sosok yang sangat menakutkan. Puncak dari ketakutan diwujudkan dalam kemarahan yang luar biasa dan menjadikan kekuatan otot yang berbicara. Ini setelah mereka tidak tahu harus berbuat apa dalam menghadapi pers.
Yang menyedihkan, kondisi yang kurang sehat bagi perkembangan pers ini justru banyak yang memanfaatkan. Ada yang menjadikan sebagai media mencari popularitas, simpati dan lainnya. Di sisi lain, pers dijadikan alat untuk meraup keuntungan sesaat dengan cara menerbitkan surat kabar, majalah dan lainnya. Mereka sebenarnya tahu mengelola perusahaan pers tidak segampang yang dibayangkan. Karena tidak hanya membutuhkan dana yang super besar, tapi juga harus dilandasi berbagai pertimbanga. Termasuk idealisme pers dan kerja keras dari semua awak yang menukanginya.
Yang mampu melawan pertumbuhan pers bagaikan jamur di musim penghujan itu hanyalah hukum alam. Mereka yang menjadikan pers sebagai alat untuk mencapai kepentingan pribadinya pun satu demi satu rontok. Masyarakat kita yang sudah dewasa tidak dapat dibodohi. Mereka sudah pintar dalam menilai dan menjadikan profesionalisme sebagai salah satu takaran. Ini dapat diartikan, media yang dikelola tanpa dilandasi sikap yang profesional dari awaknya, tidak bakal bertahan lama.
Seiring sudah semakin dewasanya masyarakat, tentunya insan pers harus tahu diri. Tuntutan profesional tidak sekadar kemampuannya dalam meraup keuntungan bagi perusahaan penerbit, tapi juga kemampuannya dalam menyajikan berita yang kritis, obyektif dan independen.
Sudah sewajarnya di hari yang bersejarah ini, insan pers kembali melakukan intropeksi diri. Kebebasan pers sudah ada dalam genggaman tangan. Mau dilepas atau tetap dalam genggaman, semua tergantung insan pers.

Tidak ada komentar: