Rabu, 27 Februari 2008

Padukan Dua Kutub Kemiskinan

M Kahono Teguh S

Hasil riset The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP) yang menunjukkan adanya insiatif baru keberpihakan Ormas Islam terhadap pengentasan kemiskinan sangat menarik (JP, 15/10/07). Karena masalah pengentasan kemiskinan sebenarnya sudah puluhan tahun dibicarakan dan dilakukan, namun hasilnya yang muncul adalah angka orang miskin bertambah besar. Ini sebagaimana yang diumumkan Badan Pusat Statistik dalam Berita Resmi Statistik No 47/IX September 2006, menyatakan bahwa penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada bulan Maret 2006 sebesar 39.05 juta (17,75 persen). Dibanding dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 persen) maka telah terjadi peningkatan penduduk miskin sebesar 3,95 juta.
Melihat data dari BPS tersebut, muncul sejumlah pertanyaan mengapa semakin sering dibicarakan dan diprogramkan, angka warga yang miskin justru semakin bertambah? Mungkinkah selama ini tentu ada sesuatu yang salah dalam pengentasan kemiskinan? Dan pertanyaan lainnya.
Sepintas melihat hasil riset JPIP tentang inistiatif baru ormas Islam menjadi sangat menarik. Karena ada pandangan baru dalam mengentas kelompok masyarakat terbawah ini. Setidak-tidaknya, kini ada upaya pengentasan yang dilakukan secara menyeluruh. Tidak lagi secara parsial yang bersumber dari keyakinannya soal penyebab kemiskinan itu sendiri.
Selama ini, pola pengentasan kemiskinan terkesan hanya melihat dari satu sisi sesuai dengan aliran pengetahuan yang dianutnya. Mana yang benar? Bisa jadi dua-duanya benar. Sebaliknya, bisa pula dua-duanya salah. Buktinya, program pengentasan kemiskinan selama bertahun-tahun dan selalu berganti kutub pun tidak mendapatkan hasil yang konkrit, kecuali angka kemiskinan semakin menggelembung dan semakin tidak jelasnya kriteria miskin. Kemiskinan yang terjadi diakibatkan belum terwujudnya kebutuhan hidup minimal, sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Ini disebabkan adanya kelemahan, seperti terbatasnya aksesnya kepada sumber ekonomi.
Mereka yang berkeyakinan, kemiskinan diakibatkan faktor kultural memiliki keyakinan lemahnya etos kerja, tidak dimilikinya etika wirausaha, atau karena budaya yang tidak terbiasa dengan kerja keras merupakan sumber utama kemiskinan. Karena itu, lebih mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat lantaran gaya hidup, kebiasaan hidup dan budayanya. Mereka merasa kecukupan dan tidak merasa kekurangan. Mereka ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak terlalu tergerak berusaha untuk memperbaiki kehidupannya. Akibatnya, pendapatan mereka rendah menurut takaran yang umum dipakai. Untuk itu, prioritas utama pengentasan adalah pembekalan pada sumber daya manusia (SDM) dengan menyuntik virus Need Achievmen (kebutuhan berprestasi)-nya David Mc Clelland. Hasil temuan JPIP menunjukan adaya aktivitas pelatihan, seminar, halaqah dan sejenisnya, merupakan salah satu cara menyuntik virus N-Ach.
Di sisi lain, ada pakar yang berkeyakinan sumber kemiskinan berasal dari struktur yang tidak adil serta akibat perilaku kelompok sosial yang berkuasa. Pemilikan sumber daya yang tidak merata, kemampuan masyarakat tidak seimbang dan ketidaksamaan kesempatan dan lainnya. Ketimpangan ini menyebabkan ketidakseimbangan pendapatan dan selanjutnya menimbulkan struktur masyarakat yang timpang. Untuk itu, perlu perbaikan struktur masyarakat jika mau mengentas kemiskinan. Sebagaimana yang dilakukan ormas Islam dengan membangun gerakan bersama antarormas.
Kalau melihat hasil riset JPIP tersebut apa yang dilakukan sejumlah ormas Islam dengan memasuki ranah kebijakan, merupakan upaya mensinergikan dua pandangan yang berbeda tersebut seputar sumber kemiskinan. Satu sisi, secara kultural keterlibatan ormas Islam akan lebih mudah dipahami dan diikuti oleh kalangan masyarakat bawah. Ini dapat dimaklumi, karena diantara keduanya mempunyai ikatan emosional. Di sisi struktural, masuknya ormas tersebut merupakan upaya untuk mengubah situasi yang tidak adil secara strutural menjadi adil bagi semua kelompok masyarakat.
Memadukan dua model pengentasan kemiskinan memang sebuah keharusan dalam masyarakat yang pluralistik ini memang sangat sulit. Diperlukan kesabaran dan keuletan untuk melihat hasil nyatanya, karena waktu yang diperlukan cukup lama. Terobasan ini setidak-tidaknya untuk memanjangkan waktu munculnya perilaku negatif akibat aktualisasi kemiskinan yang dialami sekelompok masyarakat miskin.

Tidak ada komentar: