Rabu, 27 Februari 2008

POLITIK UANG, PILIHAN RASIONAL PEMILIH

Lilik Suhariyanto
Dua Kabupaten --Madiun dan Magetan-- tidak lama lagi menggelar pemilihan kepala daerah. Dalam pesta demokrasi di kedua daerah ini, bayang-bayang politik uang sudah sedemikian kuatnya. Dari pengalaman pesta demokrasi di tetangganya, menunjukkan calon yang tidak memiliki bekal besar harus menerima kenyataan pahit. Mengapa?
Politik uang itu sendiri sebenarnya merupakan salah satu cacat yang mengiringi tumbuh kembangnya demokrasi di Indonesia. Kenyataan ini menunjukkan, ekonomi tidak bisa dipisahkan dari politik. Dalam kasus ini tidak ada pihak yang bertanggungjawab sepenuhnya, yakni calon pemegang kekuasaan atau masyarakat. Sebab kedua pihak saling membutuhkan.
Latar belakang munculnya politik uang ini mulai bergeser. Kalau sebelumnya lebih disebabkan keinginan sang calon mendapatkan suara, kini pemilih atau konsituen yang membutuhkannya. Ini disebabkan adanya persepsi masyarakat terhadap mereka yang macung –baik legislatif maupun macung lurah, bupati/walikota-- adalah orang-orang yang memiliki uang lebih.
Di sisi lain, masalah politik uang ini terjadi sebagai bentuk balas dendam pemilih sejak masa reformasi. Impian mendapatkan wakil rakyat, kepala daerah yang benar-benar menyerap aspirasinya kian hilang. Sebaliknya, manakala mereka sudah duduk di kursi jabatanya melupakan janji janji manis semasa kampanyenya. Pengalamannya sudah mengajarkan, bagaimana mereka setelah terpilih tidak mau lagi memperhatikan pemilihnya.
Rakyat pemilih juga memahami proses kampanye dalam pemilu dalam kerangka hukum ekonomi, yaitu permintaan dan penawaran. Dari sisi permintaan, rakyat pemilih menyadari, para caleg amat berhasrat untuk terpilih namun kursi yang tersedia dalam legislatif terbatas. Dari sisi penawaran, pemilih menyadari, mereka amat bernilai untuk memenuhi hasrat para caleg. Terlebih jika pemilih menyadari, para caleg tidak memiliki misi dan visi yang dapat menciptakan basis pendukung ideologis di masyarakat.
Fenomena politik uang dalam derajat tertentu dapat dianggap suatu pilihan rasional, baik dari kalkulasi para caleg maupun rakyat pemilih. Hanya saja, akibat bagi proses demokratisasi perlu dicermati. Salah satu yang paling mencolok adalah politik seakan seperti sebuah usaha. Uang dikeluarkan agar terpilih ini dapat disamakan sebagai investasi. Kapan pengembaliannya, yakni pada saat setelah seorang politisi terpilih. Jika ini terjadi, dipastikan upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme akan mengalami kesulitan besar dan ekonomi biaya tinggi akan terus berlangsung di negeri ini.
Memang hampir tidak mungkin untuk membayangkan suatu proses politik demokrasi tanpa kehadiran uang. Kegiatan-kegiatan kampanye, baik melalui cara-cara tradisional seperti arak-arakan di jalan maupun media elektronik, pasti membutuhkan biaya. Di Amerika Serikat sendiri, peran uang hampir tidak dapat dihilangkan, seperti diuraikan Don Clawson dkk dalam Money Talks (1992). Yang sedikit membedakan adalah uang yang digunakan, tidak digunakan langsung dan terang-terangan untuk membeli suara rakyat pemilih. Uang itu digunakan untuk mendanai kampanye dan untuk menciptakan citra yang baik bagi caleg. Meski demikian, harus dicatat, fenomena "uang untuk demokrasi" bukan tanpa bahaya karena biasanya akan didanai perusahaan-perusahaan raksasa yang kemudian berperan sebagai lobi politik yang signifikan.
Dalam konteks perjalanan politik di Indonesia, pantas dicatat fenomena politik uang. Pada masa Orde Baru, uang itu berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara saat setiap partai mendapatkan sumbangan dari pemerintah. Adapun dalam masa reformasi untuk pemilu belum lama ini, partai tidak lagi mendapatkan dana semacam itu.
Mereka harus menggali dana sendiri, namun mekanisme fund raising yang dilakukan partai-partai itu sebagian besar tidak berasal dari masyarakat umum dan hanya tampak semarak menjelang kampanye.
Di luar partai politik, fenomena politik uang juga muncul di kalangan LSM yang mendapatkan dana dari berbagai lembaga dana luar negeri untuk menjalankan demokrasi sebagai "proyek", seperti melalui bantuan program pendidikan pemilih dan program penataan sistem pemilihan. Oleh Peter Burnell, dalam Democracy Assistance (2000) bantuan dana untuk proyek demokrasi ini disebutnya sebagai bantuan demokrasi.
Apakah politik uang akan mengakibatkan pemahaman yang bias tentang apa yang dimaksud dengan demokrasi. Politik uang akan mengakibatkan para caleg melihat pemilu sebagai sarana untuk mencari kekayaan, sementara politik uang akan mengakibatkan politik dikuasai para pemilik modal besar. Adakah jalan keluar dari perangkap ini?
Fenomena politik uang mungkin dapat diminimalkan jika tidak terjadi ketimpangan sosial-ekonomi dalam masyarakat sehingga suara pemilih tidak dapat dibeli. Sebaliknya, fenomena "uang untuk demokrasi" mungkin dapat diminimalkan jika ada keterlibatan masyarakat umum secara luas dalam fund raising untuk partai politik dan jika partai politik, termasuk LSM yang bergerak dalam penguatan demokrasi, mau mengumumkan kepada publik daftar nama individual dan lembaga yang memberikan sumbangan kepada mereka.
Jika ini tidak dapat dilakukan, proses pembuatan pendapat umum melalui demokrasi di Indonesia hanya akan dikuasai para tirani uang. Situasi ini mengingatkan penulis pada apa yang dicemaskan Alexis de Tocqueville, beberapa ratus tahun lalu saat menyatakan, ancaman terbesar terhadap kebebasan sebenarnya berasal dari demokrasi itu sendiri. Karena itu, bukan tidak mustahil untuk menyatakan, ketika pembuatan proses pendapat umum telah dikuasai para pemilik uang dan kebebasan berpendapat tidak lagi muncul secara alamiah, kita akan mendengar ungkapan dalam kampanye pemilu untuk calon presiden mendatang "panjenengan capres toh, mbok duite didum-dum". Suatu ungkapan protes dan politik balas dendam dari publik.

Tidak ada komentar: