Jumat, 27 Juli 2007

Van den Bosch

Nama Johanes van den Bosch mungkin sudah tidak banyak yang tahu. Maklum, nama ini hanya dikenal dalam sejarah bangsa yang kini sudah tidak menarik lagi. Namun, salah satu gubernur jenderal Hindia Belanda yang sangat dikenal dengan sikap kontroversial dalam menerapkan politik cultuurstelsel atau tanam paksa.
Di balik sikapnya itu, sudah seharusnya kita ini berterima kasih kepadanya. Paling tidak, hasilnya sampai kini masih sangat terasa di Madiun. Buktinya, enam pabrik gula (PG) berdiri dalam satu wilayah eks karisidenan. Keberadaan PG tersebut menunjukkan, kalau sebenarnya memiliki potensi besar dalam dunia pertanian. Coba kita teliti saja, tidak ada satu pun wilayah eks karisidenan yang sampai memiliki enam pabrik.
Kalau di era Van den Bosch petani dijanjikan akan mendapatkan angin sorga. Ia memberi iming-iming pembebasan pajak bagi petani yang mengikuti programnya, menanam tebu, nila, kopi dan sebagainya. Hasilnya dibeli dengan harga pasar, tentunya harga versi penjajah yang sangat-sangat murah.
Politik yang dijalankan ini hasilnya sangat luar biasa. Dalam waktu yang sangat singkat, kerugian penjajah akibat perang Diponegoro bisa tertutupi. Bahkan, Belanda menjadi sangat dikenal sebagai eksportir gula, kapas, kopi dan lainnya dibutuhkan pasar dunia saat itu. Van den Bosch pun seakan menjadi pahlawan di negeri Kincir Angin itu, bahkan ia pun mendapat gelar kebangsawanan.
Kini zaman sudah berubah dan petani tidak dapat dipaksa lagi harus menanam tebu, kina, tembakau dan lainnya. Meski demikian, di sisi kehidupan lain pola ‘tanam paksa’ versi modern pun berkembang dengan pesat.
Kini, petani memang bebas mengolah lahannya, tapi ‘dipaksa’ meninggalkan lahan garapannya. Mereka tidak dapat berharap banyak dari hasil jerih payah mengolah lahannya. Harga bibit mahal, harga pupuk terus melambung, ongkos tenaga kerja yang besar, dan lainnya menjadi beban yang sangat besar. Sebaliknya, harga jual padi atau tanaman lainnya sangat rendah.
Kenyataan itulah menjadikan keluarga petani, kini lebih banyak memilih untuk merantau ke kota atau ikut menjadi buruh migran dengan harapan mendapat penghasilan yang lebih baik. Sebaliknya, lahan dan sawahnya yang sudah tidak lagi digarap dijual dan dibelikan kendaraan roda dua serta kebutuhan konsumtif lainnya.
Adopsi cultuurstesel-nya Van den Bosch versi modern tidak hanya di dunia pertanian yang mulai tergulung oleh arus kapitalisme. Karena di sektor ekonomi lainnya, seperti perbankan pun menggunakan pola yang serupa. Kelembutan lembaga perbankan dalam mengambil keuntungan nyaris tidak terasa. Ini dicontohkan melalui program automatisasi yang dibarengi iming-iming hadiah besar. Di balik itu, wajib hukumnya bagi nasabah menggunakan kartu ATM yang setiap bulannya secara otomatis tabungan milik nasabah dikurangi 7,5 ribu rupiah. Hasilnya sangat luar biasa, lembaga perbankan mampu meraup keuntungan sangat besar.
Politik cultuurstesel versi modern itu tidak hanya diterapkan di lembaga perbankan. Karena di institusi lain yang mengejar profit pun menggunakan cara yang sama.
Yang menjadi pertanyaan, adakah tanggung jawab sosial kepada masyarakat yang telah disedot tersebut? Pertanyaan ini muncul, karena masalah tanggung jawab sosial dianggap tidak masuk dalam dunianya.
Sejumlah kasus menunjukkan, kalau kedua prinsip itu digabung hasilnya justru kerugian. Ini sebagaimana yang terjadi pada BUMD (Badan Usaha Milik Daerah), misalnya PDAM yang tidak bisa menjalankan prinsip ekonomi sepenuhnya. Seperti dalam menentukan harga air yang dijual ke masyarakat, masih harus mempertimbangan pelayanan sosial. Ini yang banyak dijadikan alasan, mengapa BUMD mengalami kerugian.
Kalau dulu setelah masa kejayaan Van den Bosch berakhir, muncul politik etik sebagai balas budi kepada petani, kini muncul istilah CSR (Coorporate Social Responbility). Kini, bagi mereka yang semula ramai-ramai hanya mencari keuntungan, diwajibkan menyisihkan sebagian keuntungan untuk kepentingan sosial atau lingkungannya. Ya, mudah-mudahan tidak sekadar balas budi.
M Kahono TS

Minggu, 22 Juli 2007

ANAK

HM Kahono TS

Anakmu bukanlah anakmu. Anakmu adalah milik putra-putri sang kehidupan. Dua kalimat yang sangat dikenal ini memang sengaja saya cuplik dari terjemahan bebas Sang Nabi-nya satrawan kelahiran Libanon, Khalil Ghibran. Ini semata-mata hanya untuk mengingatkan, bahwa posisi anak selalu mendapat tempat yang istimewa dan menjadi daya tarik tersendiri.
Kalau mau sedikit menafsirkan apa yang ditulis Khalil Ghibran itu, sebenarnya tidak lebih dari ajakan untuk menghormati dan menghargai hak anak. Sering orang tua tidak menyadari, kalau anak mempunyai kehidupan sendiri yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan zamannya. Akibatnya, sebuah pemaksaan kehendak orang tua kepada anaknya.
Apakah pemaksaan itu salah? Tidak. Karena anak yang memiliki dunianya sendiri itu, juga harus diarahkan –mengambil kata yang lebih halus dari kata pemaksaan kehendak—dalam meniti kehidupannya. Sebab, anak tidak lebih dari secarik kertas putih yang siap untuk diberi warna, tulisan dan sebagainya. Dan, siapa lagi yang dapat menggambar, menulis dalam kertas kosong tersebut, kalau bukan orang tua dan lingkungannya.
Persoalannya, apakah tulisan yang dibubuhkan di kertas kosong itu harus sesuai dengan kacamata sang orang tua. Sehingga apa yang dipikirkan dan diinginkan ditumpahkan dalam tulisan kertas kosong tersebut. Kenyataan ini yang sering kita lihat dan rasakan. Anak tidak lebih dari kepanjangan tangan atau alat dari ambisi orang tua untuk meraih cita-citanya yang belum terkabul. Contoh nyata adalah orang tua yang memaksakan kehendaknya kepada putranya. Sehingga anak hanya bisa mendengarkan ‘kamu harus ini, kamu harus jadi itu dan lainnya.’
Ambisi orang tua untuk menuliskan kalimat baik dan indah itu secara tidak disadari telah merenggut hak-hak anak. Ini dapat dimaklumi, sebagian besar orang tua tidak tahu kalau anak pun memiliki hak, seperti hak bermain, hak mendapatkan pendidikan dan sejumlah hak lainnya.
Selama ini yang sering disorot adalah apa yang menimpa pada anak-anak dari kelompok tidak mampu. Maklum, mereka sering dipaksa untuk membantu mencari sesuap nasi. Termasuk yang sering kita temui di perempatan jalan, anak-anak menengadahkan tangannya kepada pengguna jalan. Hak mereka benar-benar terampas. Tidak lagi ada waktu untuk bermain dalam dunianya, tidak ada lagi waktu untuk belajar dan sebagainya. Ini disebabkan mereka secara dini harus menjalani dunia orang dewasa.
Apakah hanya anak-anak dari kelompok bawah yang terampas? Tentu saja tidak. Mereka yang berasal dari kelompok menengah dan atas pun banyak yang terampas haknya. Terutama orang tua yang ambisius dan selalu jaim (jaga image) secara material di mata masyarakat.
Pemaksaan itu terlihat dari pagi hingga petang, anak harus melakukan hal-hal yang sesuai dengan keinginan orang tuanya. Dengan berbagai alasan, anak harus mengikuti berbagai kegiatan tambahan yang menyita waktunya. Termasuk sejak dini mengeksploitasi anak untuk mengikuti keinginan orang tuanya.
Gambaran di atas, bukan berarti orang tua berpangku tangan atau membiarkan anaknya berjalan di kehidupannya tanpa arah. Sudah menjadi kewajiban orang tua untuk mengarahkan kemana jalan kehidupan yang lurus. Karena pada akhirnya sang orang tualah yang pertama akan dimintai pertanggungjawabannya.Memang, dunia anak-anak yang indah dan penuh khayalan yang imaginatif sangat sulit ditangkap. Terutama oleh orang tua sudah terperangkap oleh pandangan dan pengalaman masa kecilnya. Selamat hari anak.

Minggu, 15 Juli 2007

KESETARAAN

HM Kahono TS

Wanita itu harus konsekuen. Kalimat ini memang sangat sederhana, tapi kalau datangnya dari kaum wanita tentunya sangat mengejutkan. Apalagi yang berbicara dari kelompok intelektual dalam menanggapi isu kesetaraan pria dan wanita.
Sepintas kalimat tersebut diartikan sebagai penolakan terhadap kesetaraan pria dengan wanita. Maklum, kalimat itu seakan memojokan posisi kaum hawa yang pekan ini bakal mengemuka sehubungan dengan peringatan 21 April, hari lahirnya RA Kartini, tokoh emansipasi wanita asal Jepara.
Meski kalimat itu muncul dalam diskusi kecil yang digelar rutin oleh mahasiswa STISIP Muhamadiyah Madiun itu, bagi saya kalimat tersebut sangat menarik dan memiliki makna yang luas. Lontaran kaum wanita harus konsekuen –terutama bagi mereka yang menyuarakan kesetaraan—merupakan sebuah realita yang harus diterima.
Kemunculan isu kesetaraan ini tidak lebih dari keinginan kaum wanita untuk melepaskan diri dari subordinasi kaum pria. Karena sudah berabad-abad lamanya, kaum hawa terus dimarginalkan oleh masyarakat. Tidak hanya dari kehidupan budaya, hampir seluruh aspek kehidupan memarginalkan peran wanita.
Paling mutakhir adalah marginalisasi terhadap kaum wanita pedesaan di sektor pertanian. Tidak perlu heran, kalau sekarang ini banyak kaum wanita pedesaan yang berbondong-bondong keluar dari desanya untuk bekerja, baik di sektor formal maupun informal. Ini disebabkan peran mereka dalam dunia pertanian yang selama ini menjadi tumpuan hidup sebagian besar masyarakat kita, sudah sangat berkurang dan diambil alih oleh kaum adam.
Ini terjadi setelah proses pertanian kini tidak lagi banyak memerlukan tenaga kaum wanita. Misalnya, sebelum ada program padi varitas unggul tahan wereng (VUTW), wanita memiliki peran sangat penting dalam pertanian. Kalau dulu, wanita memiliki peran penting dari proses menanam sampai memanennya. Kini, kita tidak lagi melihat kaum wanita sedang ani-ani (memanen padi) di tengah sawah. Yang terlihat kini hanyalah kaum pria yang memanen (memotong dengan sabit) tanaman padi.
Lalu apa hubungannya antara kaum wanita harus konsekuen dengan proses marginalisasi dalam masyarakat? Sebenarnya tidak lebih dari keinginan untuk mengingatkan kembali posisi kaum wanita. Secara kondrati, ada hal-hal tertentu yang tidak dapat dihindari dan tidak bisa dialihkan perannya. Sebaliknya, bila memang ingin menuntut kesetaraan dengan kaum pria, harus benar-benar konsekuen dengan tuntutannya. Contoh yang sangat sederhana bila ada pekerjaan yang harus diselesaikan –dalam kacamata budaya adalah pekerjaan pria-- jangan sampai berkilah, ‘’Itu tugasnya kaum pria.’’
Meski saat ini sudah banyak public space (ruang publik) yang tidak tabu lagi dimasuki kaum wanita. Tapi yang harus disadari adalah, ada peran yang secara kodrati memang tidak bisa dimainkan kaum hawa. Sebaliknya, kaum pria pun harus menyadari adanya peran yang tidak dapat dijalankan. Memang kini sudah jumbuh, mana peran yang seharusnya dilakukan kaum pria dan mana yang diperuntukkan kaum wanita. Karena masalah peran tersebut dianggap sebagai hasil dari konstruksi sosial.
Kesadaran akan peran yang dijalankan inilah yang seharusnya menjadi acuan, baik mereka yang aktif menyuarakan kesetaraan kaum wanita dengan kaum pria. Ini untuk menghindari terjadinya subordinasi maupun marginalisasi peran anak cucu hawa. Meski sudah berabad-abad proses marginalisasi terhadap kaum wanita – seperti di tempat kerja, masyarakat, kultur, bahkan sampai pada tingkat negara-- kesadaran akan peran kodrat yang dimiliki pasti akan mengikisnya.
Karena itu, saya percaya kalau pun RA Kartini mempelopori emansipasi wanita dengan catatan tidak harus melupakan kodratnya sebagai wanita.

Kamis, 12 Juli 2007

MISTERI PSB

HM Kahono TS

Konon,
kata misteri diartikan sesuatu yang belum diketahui dengan pasti dan menarik orang untuk tahu. Biasanya, misteri ini dihubung-hubungkan dengan peristiwa yang menyeramkan, atau sesuatu yang berhubungan dengan dunia supernatural. Karena itu, misteri ini cenderung bersifat irrasional atau orang banyak menyebut di luar nalar.
Apakah dalam era keterbukaan sekarang ini misteri masih relevan untuk dibahas? Apalagi zaman seperti saat ini, hampir semua permasalahan disandarkan pada logika. Karena itu, kalau ada sesuatu yang tidak masuk akal pasti akan memunculkan keingintahuan.
PSB (Penerimaan Siswa Baru) tahun ajaran baru 2007/2008 misalnya, kalau melihat patokan arti kata misteri, maka sebenarnya sudah memenuhi syarat untuk disebut misteri.
Pertama, karena PSB kali ini telah banyak membuat orang ingin tahu. Di Kota Madiun saja sedikitnya 3000 orang tua siswa yang baru lulus SMP menjadi penasaran. Ini terutama soal munculnya penambahan nilai yang diluar nalar.
Kedua, PSB memenuhi syarat disebut misteri karena menjadi momok bagi siswa dan orang tuanya. Bayangkan saja, berapa ribu orang yang waswas kalau anaknya tidak dapat bangku sekolah. Ketakutan itu kian menjadi-jadi, setelah tahu ada ketidakpastian dalam proses pengambilan kebijakan.
Adanya momok yang menakutkan dan sesuatu yang di luar nalar itulah, membuat sebagian orang tua hanya pasrah. Maklum, protes atau teriak sekeras-kerasnya pun tidak akan mengubah situasi dan kondisi. Misalnya, seputar protes terhadap kebijakan penambahan nilai yang dinilai kontroversial dan misterius tersebut.
Adanya misteri dan kebijakan yang kontroversial itulah, membuat kita harus kembali merenung. Dunia pendidikan yang seharusnya mengajarkan bagaimana menggunakan nalar yang benar, justru mengambil langkah di luar nalar.
Terlepas dari dapat diterima nalar atau tidaknya, sudah seharusnya dunia pendidikan memberi contoh yang baik kepada masyarakat. Setidak-tidaknya dari sesuatu yang kecil, seperti PSB yang dari tahun ke tahun selalu dinilai ruwet. Apalagi kebijakan yang diambil selalu berubah-ubah. Tahun ini misalnya, kebijakan seputar penambahan nilai sebagai kompensasi terhadap prestasi dianggap misterius.
Misalnya, kompensasi yang diberikan kepada mereka yang menjuarai kejuaraan, lomba atau sejenisnya di tingkat Jawa Timur. Kalau kejuaraan atau lomba itu berhubungan dengan kemampuan ilmu pengetahuan, misalnya olimpiade matematika atau fisika dan sejenisnya, sudah sewajarnya mendapatkan nilai tambahan.
Ini tentunya berbeda bobotnya dengan mereka yang mengikuti kejuaraan tidak terukur, seperti di bidang seni. Misalnya, paduan suara, hadrah, drama dan sejenisnya. Tentunya tambahan nilai tidak sebesar yang diberikan kepada peserta olimpiade matematika, fisika dan sejenisnya.
Misalnya nilai Unasnya 22, maka bagi mereka yang menjuarai Olimpiade Matematika di tingkat Jawa Timur mendapat tambahan poin 100 persen. Jadi, total nilainya menjadi 44. Kalau mau adil dan transparan, besarnya kompensasi tentunya tidak sama dengan mereka yang ikut lomba paduan suara, hadrah, drama atau sejenisnya.
Kebijakan kompensasi nilai itulah yang membuat PSB masuk dalam kategori salah satu misteri di dunia pendidikan. Mereka yang terlibat di dalamnya berdalih proses penerimaan sudah sangat terbuka, bisa diakses langsung (online), dan sejenisnya. Ternyata, di balik ribuan orang tua ketakutan, satu atau dua orang masih bisa tertawa.

Rabu, 04 Juli 2007

LENTERA NEGERI

M Kahono TS

Kalau menelisik kiprah dan keberadaan pers di tanah air, sebenarnya sudah ratusan tahun. Karena Bataviasche Nouvelles, nama sebuah tabloit pertama terbit di tanah Jawa pada tahun 1744. Hanya saja, masyarakat pers Indonesia sepakat menetapkan kongres wartawan Indonesia yang kali pertama digelar di Kota Solo pada 9 Februari 1946 sebagai Hari Pers Nasional (HPN). Ini berarti hari ini menjadi tahun ke-61.
Untuk ukuran umur seorang keturunan Adam, sebenarnya umur 61 sudah sangat matang –sudah bersiap-siap untuk mandito-- baik dalam bertutur, bertindak maupun bersikap. Hanya saja, perkembangan dan umur pers tidak bisa diukur dengan umur manusia. Sebab, pers tidak boleh mati dan harus tetap hidup seiring adanya desah kehidupan di negeri ini.
Tentu tidak bisa dibayangkan bagaimana wajah negeri ini, bila pers sampai mati. Meski dalam perjalanan sejarah pers mengalami pasang surut, toh ujung pena wartawan masih tetap menorehkan tinta. Keharusan untuk tetap hidup ini merupakan bagian dari fungsinya sebagai lentera negeri.
Di alam reformasi seperti sekarang ini, pers lebih merupakan salah satu pilar demokrasi yang sekaligus berfungsi sebagai watchdog funtion dan social control. Karena fungsinya itulah, pers menjadi satu-satunya lembaga sosial yang tidak pernah tidur. Ini yang membedakan pers dengan tiga pilar demokrasi lainnya, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Karena tidak pernah memejamkan mata itulah, sering membuat gerah eksekutif, legislatif dan yudikatif lantaran dianggap mengganggu. Bayangkan saja, kalau ada temannya yang tertidur atau pura-pura tidur pasti diusik. Ini yang sering membuat geregetan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Bahkan, sering ada tudingan usilnya pers di masa reformasi seperti sekarang ini sudah kebablasan.
Pandangan yang cenderung miring itu harus diterima dengan nalar yang matang. Sebab, harus diakui memang ada sebagian pekerja pers yang mengartikan keterbukaan dengan sangat vulgar dan benar-benar terbuka, telanjang dan tanpa tedeng aling-aling. Sikap dan pandangan seperti inilah yang justru bertolak belakang dengan falsafah pers, termasuk etika pers itu sendiri.
Di sisi lain, kemampuan dasar sebagian pekerja pers tentang jurnalistik sangat minim. Terutama pemahaman tentang bagaimana kinerja pers –Mencari, Mendapatkan, Mengumpulkan, Mengolah dan Menyajikan—sangat kurang. Buktinya, banyak keluhan dari masyarakat adanya pekerja pers yang tidak pernah menunjukkan karya nyatanya.
Kenyataan itulah yang membuat sejumlah pakar komunikasi prihatin, karena gejala yang muncul justru sudah tidak membumi lagi. Artinya, pers sudah meninggalkan nilai budaya yang ada di lingkungannya sendiri.
Sejujurnya, saya melihat kenyataan tersebut merupakan bagian dari perjalanan sejarah panjang dari pers Indonesia. Setelah puluhan tahun dibelenggu –sejak Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden sampai masa pemerintahan Orde Baru – pers tidak dapat berbuat banyak.
Setelah Orba tumbang, pertumbuhan pers bagaikan jamur di musim penghujan dan menghilang ketika memasuki musim panas. Sejak tahun 1998 tercatat lebih dari 600 perusahaan penerbitan pers berdiri. Dari jumlah tersebut yang bertahan kurang dari 30 persen. Pers yang bertahan tentu pers yang baik, artinya koran, tabloid maupun media elektronik yang dapat diterima oleh masyarakat. Ini dapat dimaklumi, masyarakat kita sudah sangat pintar dalam memilih, termasuk memilih dan memilah mana yang kebablasan dan mana yang profesional.
Semua itu menjadi tantangan dan perenungan bagi masyarakat pers yang hari ini memasuki usia ke-61. Pers sebagai salah satu pilar demokrasi harus bersikap profesional, sehingga tidak terjebak dalam lingkaran penguasa yang tidak terkontrol. Karena kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.

MEMBACA

HM Kahono TS

Berapa banyak pembaca media di AS, Jepang dan negera eropa lainnya? Pertanyaan ini sempat mencuat dalam sebuah forum pertemuan antarpengelola media cetak di Jawa Timur. Jawaban atas pertanyaan itu pun beragam, di AS misalnya ada yang memperkirakan 75 juta, 25 juta dan lainnya.
Alasannya sangat simple, karena ratio perbandingan yang ideal antara jumlah penduduk dengan media cetak (koran, tabloid dan lainnya) adalah 1 berbanding sepuluh. Ratio perbandingan pembaca dengan oplah media cetak yang ideal itu ditetapkan oleh UNESCO, salah satu badan PBB yang mengurusi masalah sosial budaya.
Ternyata beragam jawaban itu tidak ada satu pun yang pas. Artinya, tidak ada satu pun yang benar. Karena prakiraan yang dijadikan jawaban itu angkanya masih sangat jauh. Sebab, tiras media cetak di negerai besar tersebut di atas jumlah penduduk, bahkan ada yang nyaris dua kali lipatnya.
Tentu angka tiras itu membuat peserta pertemuan tercengang. Maklum, di era seperti sekarang ini yang serba elektrik –koran, majalah, buku dan lainnya-- ternyata tidak mengurangi minat baca. Ini sangat berbanding terbalik dengan apa yang ada di seputar kita. Oplah media cetak di Indonesia secara keseluruhan misalnya, baru mampu mencapai angka sekitar 17 juta. Padahal, jumlah penduduknya mencapai angka di atas 200 juta.
Data-data itu sengaja dipaparkan sebagai gambaran tentang rendahnya minat baca bangsa ini. Yang menjadi pertanyaan mengapa minat baca rendah? Padahal sudah lebih dari setengah abad merdeka. Pemerintah sendiri sudah mencanangkan wajib belajar 9 tahun untuk menekan angka buta huruf.
Kenyataan ini memunculkan berbagai tanggapan, salah satu faktor yang menjadi biang keladi rendahnya minat baca adalah kemiskinan yang membelunggu. Buktinya, dari tahun ke tahun angka orang miskin semakin besar. Sehingga masyarakat lebih memilih beli beras atau kebutuhan pokok lainnya, dari pada harus membaca media cetak dan seterusnya.
Alasan kemiskinan sebagai biang kerok rendahnya minat baca ini juga tidak sepenuhnya benar. Karena ada beberapa fenomena yang justru mengejutkan diperoleh dari mereka yang masuk kelompok terdidik. Yakni perilaku mereka yang tengah menempuh pendidikan tinggi di berbagai kota.
Di Madiun misalnya, dari sejumlah wawancara dengan mahasiswa yang tengah menempuh pendidikan tinggi –universitas, sekolah tinggi dan perguruan tinggi lainnya—ternyata tidak setiap hari membaca koran, majalah, tabloid atau buku. Tapi hampir semua mahasiswa/i memiliki handphone sebagai alat komunikasi.
Fenomena ini tentu sangat menarik perhatian. Bahkan, Dra Hj Su’ada MSi, salah seorang pengajar dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) saat berdiskusi di STISIP Muhammadiyah Madiun awal pekan lalu mengungkapkan, secara sosiologis masyarakat terlalu cepat melakukan loncatan budaya. Artinya, manakala masyarakat memasuki fase atau tahapan tertentu dan ternyata belum matang, sudah meloncat lagi ke tahapan berikutnya. Sebagaimana manusia, masyarakat pun berkembang dari fase ke fase berikutnya.
Karena itulah, rendahnya minat baca masyarakat tidak semata-mata lantaran faktor kemiskinan yang membelenggu. Bukti lain yang bisa terekam adalah masih banyaknya mereka yang masuk kategori kelompok bawah berusaha keras untuk mengikuti informasi dengan cara membaca koran dari tetangga, teman dan lainnya.
So, apa yang menjadi penyebab rendahnya minat baca? Tentu sangat kompleks dan saling terkait. Hanya saja, salah satu penyumbang terbesar adalah perilaku keseharian dalam arti luas lagi budaya, dan tentunya ada sesuatu yang salah dalam dunia pendidikan.
Dalam kehidupan keseharian, budaya tutur tampaknya lebih tinggi peminatnya dibandingkan budaya baca tulis. Contoh kecilnya orang lebih banyak meluangkan waktunya untuk rasan-rasan dengan teman, tetangga dan lainnya, dibandingkan menyisihkan waktu untuk membaca.
Terlepas dari semua itu, menumbuhkan minat baca masih merupakan PR yang cukup berat. Yang pasti, membaca merupakan pintu gerbang menuju pencerahan. Sebagaimana yang difirmankan dalam surat Al Alaq.’Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam.’

Senin, 02 Juli 2007

Biaya Sosial

HM Kahono Teguh S
Berapa dana sosial setiap bulan yang harus anda siapkan? Hampir dipastikan tidak ada seorang pun yang tahu persis, kecuali hanya uang recehan seratus perak atau dua ratusan. Untuk ukuran sekarang, sekeping uang seratus perak mungkin tidak terasa. Tapi kalau disadari dan dihitung dengan jlimet dan cermat, kita semua akan geleng-geleng kepala. Sebenarnya untuk menghitung dana sosial yang harus disiapkan cukup sederhana, terutama mereka yang dalam kesehariannya menggunakan kendaraan roda empat. Cukup menghitung berapa kali dalam satu hari berhenti di perempatan yang menggunakan traffic light di kota Madiun. Jumlah berhentinya itu dikalikan seratus perak dan dikalikan 30 hari dalam satu bulan. Mengapa harus menghitung dana sosial atau sedekah yang dikeluarkan dengan tulus ikhlas? Bukan masalah tulus iklasnya dalam bersedekah sebagaimana tuntutan agama, tapi fenomena maraknya pengamen di perempatan jalan kian memprihatinkan yang menjadi persoalan. Karena fenomena itu bisa diartikan beragam, termasuk petunjuk seputar meningkatnya angka kemiskinan, pengangguran di Kota Madiun. Apalagi, Kota Madiun sebenarnya sudah punya perda khusus yang melarang orang ‘mencari rezeki’ di perempatan jalan. Hampir di semua perempatan dipasang papan peringatan larangan mengamen di jalanan. Termasuk ancaman hukuman yang bakal dijatuhkan. Tapi kenyataannya, papan peringatan tidak lebih dari asesoris belaka. Buktinya mereka yang ‘nongkrong’ di perempatan justru kian beragam. Mulai orang tua sampai anak-anak, mulai yang berlagak tidak sehat sampai mereka yang terlihat sangat bugar dan dari mereka yang membawa gitar sampai hanya bertepuk tangan dan lainnya. Pemandangan itu kini tidak hanya di perempatan jalan, karena mereka yang ‘mencari rezeki’ dengan cara serupa di kompleks perumahan pun kian marak. Tidak hanya pagi hari, ada juga yang datang pada siang, bahkan sore menjelang Magrib pun terkadang tidak dilewatkan. Yang menjadi pertanyaan mengapa hal tersebut bisa terjadi? Sudah tentu sangat beragam jawabnya, karena sangat tergantung dari sudut atau teori mana kita memandangnya. Kalau dilihat dari teori sosial, tentunya penyebab semua itu sangat kompleks. Ada yang mengatakan penyebabnya adalah semakin sempitnya lahan mata pencaharian, meningkatnya pengangguran, kemiskinan dan seterusnya. Karena itulah, manakala muncul gesekan yang berhubungan dengan mata pencaharian atau sumber penghidupan, maka orang berubah menjadi lebih sensitif. Seperti mogoknya ratusan bumel dan gelar aksi para abang becak yang mewarnai suasana Kota Madiun pekan ini, merupakan puncak dari rasa waswas akan semakin sempitnya lahan penghidupannya. Kalau pun sekarang ini banyak orang atau kelompok masyarakat yang semakin sensitif, seharusnya sudah diantisipasi oleh pemerintah. Ini disebabkan tingkat kompetisi untuk bertahan hidup dalam zaman yang serba belum menentu seperti sekarang ini sangat tinggi. Karena itulah, dalam menanggapi kasus protesnya kru bumel, pengambil kebijakan di pemkot harus bertindak lebih bijak. Meski bisa saja memaksakan kehendaknya, karena memiliki otoritas yang kuat, tapi tidak ada jeleknya kalau mau mendengarkan suara dan melihat fakta sosial yang sebenarnya. Munculnya gejala sosial tersebut memang sangat memprihatinkan. Kalau pun mereka yang bermobil harus mengeluarkan ‘dana sosial’ tersebut merupakan bentuk dari biaya sosial yang harus ditanggung. Setidak-tidaknya mereka ikut bertanggungjawab terhadap mereka yang hidup di jalanan. Ini berarti tanggung jawab negara secara tidak langsung dialihkan kepada individu.

Minggu, 01 Juli 2007

”Wartawan Kembali Dipenjarakan Karena Pemberitaan

PERS RELEASELEMBAGA BANTUAN HUKUM PERS
Kado Hari Kebabasan Pers Sedunia
”Wartawan Kembali Dipenjarakan Karena Pemberitaan
”Sumber : LBH Pers
Vonis kasasi Mahkamah Agung RI tersebut telah mencoreng dan mencederai peringatan hari kebebasan pers sedunia 3 Mei. Vonis pengkriminalisasian terhadap wartawan Sekali lagi menunjukan bahwa negara telah gagal memenuhi kebutuhan publik untuk memperoleh informasi yang secara langsung diwakili oleh kebebasan pers dengan cara memenjarakan wartawan, padahal telah jelas terhadap wartawan berlaku Undang undang Nomor 40 tahun 1999 tentang pers (UU Pers) yang mengatur penyelesaian segala sengketa yang berkaitan dengan pers dan pemberitaan. Dalam pasal 8 UU Pers pun disebutkan bahwa “Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum”.Putusan Mahkamah Agung tersebut telah mengabaikan semangat kebebasan pers yang merupakan tonggak demokrasi sebagai salah satu wujud kedaulatan rakyat. Penggunaan KUHP terhadap karya jurnalistik merupakan pengingkaran asas hukum terhadap Undang-Undang Pers (lex spesialis derogat legi generalis). Mahkamah Agung dalam memeriksa dan mengadili karya jurnalistik telah mengabaikan undang-undang pers yang secara khusus mengatur tentang pers. Hal tersebut sangat jelas bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam Undang-Undang No 40/1999 tentang Pers. Setiap sengketa pers terdapat mekanisme/prosedur penyelesaian melalui hak jawab, hak koreksi, atau dengan mengadukan kepada organisasi pers dan ke Dewan PersKriminalisasi tersebut jelas telah melanggar hak kebebasan dalam menyampaikan pendapat sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No. 40/1999, dimana pers mempunyai hak untuk mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Penegakan hukum yang tidak proporsional dan cenderung dipaksakan merupakan sebuah upaya sistematis untuk memberedel adanya kebebasan pers yang menjadi ujung tombak penegakan demokrasi di Indonesia. Terhadap pemenjaraan wartawan tersebut tersebut diatas, Lembaga Bantuan Hukum Pers menyatakan sikap:1. Menolak segala bentuk dan upaya kriminalisasi terhadap pers; Setiap pelanggaran etika jurnalistik harus diselesaikan melalui prosedur jurnalistik juga bukan dengan mengkriminalisasikan pers, bukankah undang-undang pers dibuat untuk menyelesiakan sengketa jurnalistik2. Menghimbau Kejaksaan Agung RI untuk melaksanakan fungsi dan tugasnya secara proposional dengan tidak langsung memenjarakan wartawan, Kejaksaan Agung harus melihat bahwa karya jurnalistik tidak bisa disamakan dengan kasus kriminal pada umumnya.3. Menuntut Ketua Mahkamah Agung RI untuk memeriksa ketua dan Anggota Hakim Agung yang memutus dan mengadili kasus Radar Jogja LBHPers menilai Hakim Agung Kasasi dalam vonis Radar Jogja telah mengambaikan undang-undang pers dalam memeriksa dan mengadili kasus Radar Jogja padahal kasus tersebut jelas merupakan karya jurnalistik bukan kriminal4. Menuntut kepada semua pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan menempuh prosedur penyelesaian melalui hak jawab, hak koreksi atau mengajukan kepada organisasi wartawan dan atau Dewan Pers sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers;5. Menghimbau kepada kalangan media dan wartawan dalam melaksanakan pekerjaan jurnalistik untuk meningkatkan profesionalisme dengan berpegang pada Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Pers. Serta merapatkan barisan melawan segala bentuk kriminalisiasi terhadap pers.
Jakarta, 8 Mei 2007
Hendrayana, S.H.
Direktur Eksekutif