Rabu, 04 Juli 2007

LENTERA NEGERI

M Kahono TS

Kalau menelisik kiprah dan keberadaan pers di tanah air, sebenarnya sudah ratusan tahun. Karena Bataviasche Nouvelles, nama sebuah tabloit pertama terbit di tanah Jawa pada tahun 1744. Hanya saja, masyarakat pers Indonesia sepakat menetapkan kongres wartawan Indonesia yang kali pertama digelar di Kota Solo pada 9 Februari 1946 sebagai Hari Pers Nasional (HPN). Ini berarti hari ini menjadi tahun ke-61.
Untuk ukuran umur seorang keturunan Adam, sebenarnya umur 61 sudah sangat matang –sudah bersiap-siap untuk mandito-- baik dalam bertutur, bertindak maupun bersikap. Hanya saja, perkembangan dan umur pers tidak bisa diukur dengan umur manusia. Sebab, pers tidak boleh mati dan harus tetap hidup seiring adanya desah kehidupan di negeri ini.
Tentu tidak bisa dibayangkan bagaimana wajah negeri ini, bila pers sampai mati. Meski dalam perjalanan sejarah pers mengalami pasang surut, toh ujung pena wartawan masih tetap menorehkan tinta. Keharusan untuk tetap hidup ini merupakan bagian dari fungsinya sebagai lentera negeri.
Di alam reformasi seperti sekarang ini, pers lebih merupakan salah satu pilar demokrasi yang sekaligus berfungsi sebagai watchdog funtion dan social control. Karena fungsinya itulah, pers menjadi satu-satunya lembaga sosial yang tidak pernah tidur. Ini yang membedakan pers dengan tiga pilar demokrasi lainnya, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Karena tidak pernah memejamkan mata itulah, sering membuat gerah eksekutif, legislatif dan yudikatif lantaran dianggap mengganggu. Bayangkan saja, kalau ada temannya yang tertidur atau pura-pura tidur pasti diusik. Ini yang sering membuat geregetan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Bahkan, sering ada tudingan usilnya pers di masa reformasi seperti sekarang ini sudah kebablasan.
Pandangan yang cenderung miring itu harus diterima dengan nalar yang matang. Sebab, harus diakui memang ada sebagian pekerja pers yang mengartikan keterbukaan dengan sangat vulgar dan benar-benar terbuka, telanjang dan tanpa tedeng aling-aling. Sikap dan pandangan seperti inilah yang justru bertolak belakang dengan falsafah pers, termasuk etika pers itu sendiri.
Di sisi lain, kemampuan dasar sebagian pekerja pers tentang jurnalistik sangat minim. Terutama pemahaman tentang bagaimana kinerja pers –Mencari, Mendapatkan, Mengumpulkan, Mengolah dan Menyajikan—sangat kurang. Buktinya, banyak keluhan dari masyarakat adanya pekerja pers yang tidak pernah menunjukkan karya nyatanya.
Kenyataan itulah yang membuat sejumlah pakar komunikasi prihatin, karena gejala yang muncul justru sudah tidak membumi lagi. Artinya, pers sudah meninggalkan nilai budaya yang ada di lingkungannya sendiri.
Sejujurnya, saya melihat kenyataan tersebut merupakan bagian dari perjalanan sejarah panjang dari pers Indonesia. Setelah puluhan tahun dibelenggu –sejak Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden sampai masa pemerintahan Orde Baru – pers tidak dapat berbuat banyak.
Setelah Orba tumbang, pertumbuhan pers bagaikan jamur di musim penghujan dan menghilang ketika memasuki musim panas. Sejak tahun 1998 tercatat lebih dari 600 perusahaan penerbitan pers berdiri. Dari jumlah tersebut yang bertahan kurang dari 30 persen. Pers yang bertahan tentu pers yang baik, artinya koran, tabloid maupun media elektronik yang dapat diterima oleh masyarakat. Ini dapat dimaklumi, masyarakat kita sudah sangat pintar dalam memilih, termasuk memilih dan memilah mana yang kebablasan dan mana yang profesional.
Semua itu menjadi tantangan dan perenungan bagi masyarakat pers yang hari ini memasuki usia ke-61. Pers sebagai salah satu pilar demokrasi harus bersikap profesional, sehingga tidak terjebak dalam lingkaran penguasa yang tidak terkontrol. Karena kekuasaan itu cenderung disalahgunakan.

Tidak ada komentar: