Minggu, 15 Juli 2007

KESETARAAN

HM Kahono TS

Wanita itu harus konsekuen. Kalimat ini memang sangat sederhana, tapi kalau datangnya dari kaum wanita tentunya sangat mengejutkan. Apalagi yang berbicara dari kelompok intelektual dalam menanggapi isu kesetaraan pria dan wanita.
Sepintas kalimat tersebut diartikan sebagai penolakan terhadap kesetaraan pria dengan wanita. Maklum, kalimat itu seakan memojokan posisi kaum hawa yang pekan ini bakal mengemuka sehubungan dengan peringatan 21 April, hari lahirnya RA Kartini, tokoh emansipasi wanita asal Jepara.
Meski kalimat itu muncul dalam diskusi kecil yang digelar rutin oleh mahasiswa STISIP Muhamadiyah Madiun itu, bagi saya kalimat tersebut sangat menarik dan memiliki makna yang luas. Lontaran kaum wanita harus konsekuen –terutama bagi mereka yang menyuarakan kesetaraan—merupakan sebuah realita yang harus diterima.
Kemunculan isu kesetaraan ini tidak lebih dari keinginan kaum wanita untuk melepaskan diri dari subordinasi kaum pria. Karena sudah berabad-abad lamanya, kaum hawa terus dimarginalkan oleh masyarakat. Tidak hanya dari kehidupan budaya, hampir seluruh aspek kehidupan memarginalkan peran wanita.
Paling mutakhir adalah marginalisasi terhadap kaum wanita pedesaan di sektor pertanian. Tidak perlu heran, kalau sekarang ini banyak kaum wanita pedesaan yang berbondong-bondong keluar dari desanya untuk bekerja, baik di sektor formal maupun informal. Ini disebabkan peran mereka dalam dunia pertanian yang selama ini menjadi tumpuan hidup sebagian besar masyarakat kita, sudah sangat berkurang dan diambil alih oleh kaum adam.
Ini terjadi setelah proses pertanian kini tidak lagi banyak memerlukan tenaga kaum wanita. Misalnya, sebelum ada program padi varitas unggul tahan wereng (VUTW), wanita memiliki peran sangat penting dalam pertanian. Kalau dulu, wanita memiliki peran penting dari proses menanam sampai memanennya. Kini, kita tidak lagi melihat kaum wanita sedang ani-ani (memanen padi) di tengah sawah. Yang terlihat kini hanyalah kaum pria yang memanen (memotong dengan sabit) tanaman padi.
Lalu apa hubungannya antara kaum wanita harus konsekuen dengan proses marginalisasi dalam masyarakat? Sebenarnya tidak lebih dari keinginan untuk mengingatkan kembali posisi kaum wanita. Secara kondrati, ada hal-hal tertentu yang tidak dapat dihindari dan tidak bisa dialihkan perannya. Sebaliknya, bila memang ingin menuntut kesetaraan dengan kaum pria, harus benar-benar konsekuen dengan tuntutannya. Contoh yang sangat sederhana bila ada pekerjaan yang harus diselesaikan –dalam kacamata budaya adalah pekerjaan pria-- jangan sampai berkilah, ‘’Itu tugasnya kaum pria.’’
Meski saat ini sudah banyak public space (ruang publik) yang tidak tabu lagi dimasuki kaum wanita. Tapi yang harus disadari adalah, ada peran yang secara kodrati memang tidak bisa dimainkan kaum hawa. Sebaliknya, kaum pria pun harus menyadari adanya peran yang tidak dapat dijalankan. Memang kini sudah jumbuh, mana peran yang seharusnya dilakukan kaum pria dan mana yang diperuntukkan kaum wanita. Karena masalah peran tersebut dianggap sebagai hasil dari konstruksi sosial.
Kesadaran akan peran yang dijalankan inilah yang seharusnya menjadi acuan, baik mereka yang aktif menyuarakan kesetaraan kaum wanita dengan kaum pria. Ini untuk menghindari terjadinya subordinasi maupun marginalisasi peran anak cucu hawa. Meski sudah berabad-abad proses marginalisasi terhadap kaum wanita – seperti di tempat kerja, masyarakat, kultur, bahkan sampai pada tingkat negara-- kesadaran akan peran kodrat yang dimiliki pasti akan mengikisnya.
Karena itu, saya percaya kalau pun RA Kartini mempelopori emansipasi wanita dengan catatan tidak harus melupakan kodratnya sebagai wanita.

Tidak ada komentar: