Rabu, 27 Februari 2008

Analisa Kebijakan Pemkot Madiun Menangani Anak Jalanan

Permasalahan
Ketika krisis menghantam Indonesia secara berkepanjangan, menjadikan hampir semua sektor terpuruk, diantaranya sektor ekonomi, ketersediaan pangan, politik menjadikan situasi berubah dengan sangat cepat. Krisis ekonomi yang diperberat oleh terjadinya berbagai bencana menyebabkan banyak keluarga mengalami keterpurukan ekonomi akibat pemutusan hubungan kerja, menurunnya daya beli dan harga barang yang terus melambung tak terjangkau sehingga tak lagi dapat memenuhi hak dan kebutuhan anak.
Akibat lebih jauh yaitu banyaknya anak yang terpaksa meninggalkan sekolah guna mencari nafkah. BPS mengumumkan bahwa penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada bulan Maret 2006 sebesar 39.05 juta (17,75 persen). Ini dibanding dengan penduduk miskin pada Februari 2005 yang berjumlah 35,10 juta (15,97 persen) maka telah terjadi peningkatan penduduk miskin sebesar 3,95 juta. (Berita Resmi Statistik No 47/IX Septermber 2006)
Melonjaknya angka penduduk miskin menunjukkan bahwa semakin meningkatnya ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, seperti untuk kebutuhan pangan, pakaian, pendidikan, kesehatan dan perumahan. Kondisi ini mengakibatkan semakin meningkatnya permasalahan sosial lainnya. Seperti anak jalanan, pelacuran anak, anak terlantar, pemukiman kumuh, wanita rawan sosial ekonomi, lanjut usia terlantar dsb.
Berdasarkan data dari Departemen Sosial RI pada tahun 2005, masalah anak di Indonesia seperti kekerasan pada anak, anak jalanan, anak terlantar dan sebagainya masih cukup tinggi. Jumlah anak jalanan di Indonesia sekitar 30.000 dan dari jumlah tersebut, 30.000 anak jalanan ada di DKI Jakarta. Sedangkan balita terlantar pada tahun 2005 tercatat ada 1.138.126 anak dan anak terlantar ada 3.308.642 orang. Diperkirakan pula setiap 1-2 menit terjadi kekerasan pada anak di Indonesia.
Persoalan anak jalanan sudah lama disorot. Namun, untuk mengurai persoalan ini tidak mudah sebab menyangkut perut banyak orang. Penghasilan satu anak jalanan mencapai angka Rp 12.000 sampai Rp 15.000. Akibatnya, anak-anak jalanan enggan diajak kembali habitat ”normal” anak umumnya, misalnya untuk bersekolah. Mereka lebih menikmati bermain dan mencari uang di pinggir jalan. Inilah yang mempersulit kinerja pembina anak jalanan untuk mengatasi mereka.
Meningkatnya angka anak jalanan, mengikuti hukum ekonomi, atau mengikuti pepatah ”ada gula ada semut”. Pada saat krisis ekonomi justru jumlah anak jalanan meningkat 400 persen.
Untuk itu mengembalikan dan menekan anak kembali ke jalanan, sejumlah kebijakan telah diambil pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah. Untuk Kota Madiun misalnya, secara khusus mengeluarkan Perda No 4 tahun 2006 tentang penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum. Dalam perda ini mengatur tentang larangan mengamen, meminta dan berjualan di perempatan jalan.
Kebijakan Pemkot Madiun ini merupakan salah satu cara untuk menekan anak-anak bermasalah, baik disebabkan bermasalah di rumah atau disebabkan putus sekolah menjadi anak jalanan. Sekaligus mencegah anak-anak kehilangan haknya sebagaimana anak normal lainnya..
Apa yang dilakukan Pemkot Madiun melalui peraturan daerah yang mengatur larangan melakukan aktifitas ekonomi yang abnormal di perempatan jalan tersebut, terkait dengan penanganan terhadap permasalahan anak di Indonesia, Pemerintah Indonesia pada tahun 2002 mensahkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang bertujuan untuk “…menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera”.
Secara umum, anak jalanan meliputi dua kelompok. Yakni, anak jalanan yang masih tinggal dengan orantuanya atau keluarganya (children in the street) dan anak jalanan yang benar-benar lepas dari keluarganya serta hidup sembarangan di jalanan (children of the street). Usia mereka 6-15 tahun.
Anak-anak merupakan kelompok masyarakat yang paling rentan di dalam masyarakat, sehingga memerlukan perlindungan khusus bagi mereka. Masalah anak yang membutuhkan perlindungan khusus sangat erat dikaitkan dengan isu makro, terbatasnya akses pada sumber masyarakat seperti kesehatan dan pendidikan. Krisis di Indonesia telah terjadi begitu luas dan dalam dampaknya, namun sejauh ini tak seorangpun tahu dengan persis bagaimana dampaknya bagi anak. Bagaimanapun, mengingat sebab serius dari keberadaan anak yang membutuhkan perlindungan khusus ini adalah masalah makro, krisis ini dipastikan akan menyeret sejumlah anak ke dalam situasi sulit atau semakin sulit dimana perlindungan khusus mereka dibutuhkan.
Munculnya anak jalanan merupakan salah satu persoalan yang diakibatkan kian tingginya angka kemiskinan yang diakibatkan krisis ekonomi berkepanjangan.
Kajian Teori
Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang ditandai oleh pengangguran dan keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi. Menurut Ginanjar (1996:235) keadaan kemiskinan umumnya diukur dengan tingkat pendapatan dan membedakan menjadi dua, yaitu :
1. Kemiskinan absolut
Seseorang dikatakan miskin secara absolut apabila tingkat pendapatannya lebih rendah daripada garis kemiskinan absolut atau dengan kata lain jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum yang dicerminkan oleh garis kemiskinan absolut tersebut. Standar yang digunakan berdasarkan Biro Pusat Statistik (BPS) untuk mengukur garis kemiskinan adalah pengeluaran minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kebutuhan minimum untuk hidup ini diukur dengan pengeluaran untuk makanan setara 2.100 kalori per kapita per hari ditambah pengeluaran untuk kebutuhan non makanan yang meliputi perumahan, berbagai barang dan jasa, pakaian dan barang tahan lama.

2. Kemiskinan relatif.
Kemiskinan absolut umumnya disandingkan dengan kemiskinan relatif. Kemiskinan relatif adalah keadaan perbandingan antara kelompok pendapatan dalam masyarakat, yaitu antara kelompok yang mungkin tidak miskin karena mempunyai tingkat pendapatan yang lebih tinggi daripada garis kemiskinan, dan kelompok masyarakat yang relatif lebih kaya. Dengan menggunakan ukuran pendapatan, maka keadaan ini dikenal dengan ketimpangan distribusi pendapatan.
Selain itu Ginanjar (1996:235-236) memaparkan, berdasarkan pola waktunya kemiskinan dapat dibedakan menjadi :
1. Persistent poverty yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun. Daerah seperti itu pada umumnya merupakan daerah-daerah yang kritis sumber daya alamnya, atau daerah yang terisolasi.
2. Cyclical poverty, yaitu kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan
3. Seasonal poverty, yaitu kemiskinan musiman seperti sering dijumpai pada kasus nelayan dan pertanian tanaman pangan.
4. Accidental poverty, yaitu kemiskinan karena terjadinya bencana alam atau dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya suatu tingkat kesejahteraan masyarakat.
Ditinjau dari penyebab kemiskinan, Ginanjar (1996:240) menggolongkan dalam dua jenis, yaitu :
1. Kemiskinan kultural, mengacu pada sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budayanya. Mereka sudah merasa kecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak terlalu tergerak berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupannya sehinga menyebabkan pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang umum dipakai.
2. Kemiskinan struktural, keadaan dimana pemilikan sumber daya yang tidak merata, kemampuan masyarakat yang tidak seimbang dan ketidaksamaan kesempatan dalam berusaha dan memperoleh pendapatan. Ketimpangan ini pada gilirannya menyebabkan perolehan pendapatan tidak seimbang dan selanjutnya menimbulkan struktur masyarakat yang timpang.
Sementara menurut Supriatna (1997:20) kemiskinan disebabkan oleh dua bentuk tantangan transformasi, yaitu :
1. Tantangan transformasi eksternal, meliputi :
a. Perkembangan sosial ekonomi dan teknologi yang acapkali tidak menguntungkan masyarakat pedesaan, bahkan banyak menimbulkan kesenjangan dan goncangan tatanan kehidupan sosial ekonomi.
b. Rangsangan media massa yang cenderung membangkitkan angan-angan terhadap kepemilikan barang konsumtif dan kebutuhan lainnya yang tidak diimbangi dengan kemampuan masyarakat untuk memiliki, menggunakan dan memeliharanya.
2. Tantangan transformasi internal, meliputi :
a. Tekanan pertambahan penduduk yang tidak diimbangi oleh pertumbuhan ekonomi yang memadai.
b. Dorongan urbanisasi untuk mendapatkan pekerjaan, pendidikan dan pemenuhan kebutuhan lainnya di kota, yang sarat dengan berbagai fasilitas.
Ginanjar (1996 : 240-241) juga menjelaskan mengenai kondisi kemiskinan disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat penyebab berikut ini :
1. Rendahnya taraf pendidikan, taraf pendidikan yang rendah mengakibatkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan menyebabkan sempitnya lapangan kerja yang dapat dimasuki. Taraf pendidikan yang rendah juga membatasi kemampuan untuk mencari dan memanfaatkan peluang.
2. Rendahnya derajat kesehatan, taraf kesehatan dan gizi yang rendah menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir dan prakarsa.
3. Terbatasnya lapangan kerja, keadaan kemiskinan karena kondisi pendidikan dan kesehatan diperberat oleh terbatasnya lapangan kerja.
4. Kondisi keterisolasian, banyak penduduk miskin secara ekonomi tidak berdaya karena terpencil dan terisolasi.
Keempat penyebab yang diuraikan diatas menunjukkan adanya lingkaran kemiskinan. Keluarga miskin pada umumnya berpendidikan rendah dan terpusat di daerah pedesaan. Karena pendidikan rendah, produktivitas pun rendah sehingga imbalan yang diterima tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, antara lain pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk dapat hidup dan bekerja. Akibatnya, rumah tangga miskin akan menghasilkan keluarga-keluarga miskin pula pada generasi berikutnya.

Tidak ada komentar: