Jumat, 10 Agustus 2007

MERDEKA Satus Persen

HM Kahono TS

Pekan ini, puncak kebahagiaan rakyat Indonesia yang merayakan ulang tahun kemerdekaaan ke-62. Tidak terkecuali warga Madiun yang menyambutnya dengan beragam cara. Dari menghias kampung halamannya dengan berbagai pernik kemerdekaan sampai menggelar aneka lomba yang sebagian bersifat menghibur.
Sudah satu pekan ini, pemandangan di gang-gang masuk kampung, jalan-jalan kampung terlihat orang berkerumun, berjingkrak, bersorak bahkan ada yang berteriak keras-keras seakan melepas beban berat yang ada di dada. Tidak peduli kaya, miskin, pria maupun wanita, semua berbaur menjadi satu untuk bergembira.
Satu atau dua pekan kita bisa melupakan beban hidup keseharian yang harus ditanggungnya. Meski harus merogoh koceknya dalam-dalam untuk mendapatkan kegembiraan bersama, semua nyaris tidak mau berpikir panjang. Toh, perayaan ulang tahun kemerdekaan ini hanya satu tahun sekali. ‘’Kalau tahun empat lima tidak merdeka, tentu kita tidak seperti ini,’’ ujar Suto, warga kampung yang dimasukkan kategori prasejahtera oleh kantor kelurahan.
Bukan hanya Suto yang berpikir seperti itu. Karena warga lainnya juga memiliki pemikiran serupa. Tapi ada juga yang berpikir sedikit usil dan bertanya seputar arti kemerdekaan. ‘’Apa betul kita ini sudah merdeka satus persen?’’
Terlepas dari pemikiran usil itu, sebenarnya wajar kalau kita merayakan pesta ulang tahun hari paling bersejarah dalam perjalanan bangsa ini. Karena perayaan itu tidak sekadar sebuah pesta ritual tahunan memperingati lepasnya bangsa ini dari cengkeraman penjajah Belanda selama hampir 350 tahun. Tapi lebih pada keinginan untuk lebih memahami makna kemerdekaan yang hakiki. Terutama pada saat dihadapkan situasi yang sangat sulit seperti sekarang ini.
Kalau menelusuri arti kata kemerdekaan yang berasal dari kata benda itu, sebenarnya tidak lebih dari keberhasilannya meraih hak kendali secara penuh, Kalau pun untuk tataran kenegaraan tentunya hak kendali atas seluruh wilayah yang menjadi bagiannya. Secara individual kemerdekaan merupakan saat seseorang memperoleh hak-haknya tanpa harus bergantung pada orang lain. Singkat kata, kemerdekaan ini adalah sebuah kebebasan.
Melihat makna kemerdekaan tersebut, adalah wajar kalau muncul pikiran usil seputar kemerdekaan. Apakah rakyat Indonesia –teruma warga Madiun ini-- sudah merdeka seratus persen?
Jawabnya tentu bisa ya dan bisa juga tidak. Kalau hanya melihat secara harafiah, dipastikan jawaban adalah kita sudah merdeka seratus persen. Rakyat Madiun sudah bisa menggunakan hak-haknya secara penuh, tidak ada orang yang mengendalikan. Contoh yang sangat sederhana adalah orang Madiun dapat menggunakan haknya untuk memperoleh pendidikan yang layak. Semua dapat mengenyam pendidikan hingga jenjang yang diinginkan.
Apakah arti kemerdekaan hanya sesederhana itu? Dipastikan tidak, meski warga Madiun bisa bersekolah tapi tidak memiliki pilihan yang bebas. Karena ada syarat-syarat khusus, terutama kalau sudah menyangkut masalah biaya pendidikan yang harus dikeluarkan. Meski saat ini anggaran pendidikan dari pemerintah kabarnya sudah dinaikkan, tetap saja mereka yang berasal dari kelompok bawah –miskin dan di bawah garis kemiskinan—tidak bisa berbuat banyak. Kalau ini yang terjadi, tentu jawab atas pertanyaan di atas adalah ternyata kita ini belum seratus persen merdeka.
Persoalannya, apakah arti sebuah kebebasan?
Kondisi obyektif yang ada di masyarakat itulah, menjadikan masih banyak warga dari kalangan cerdik pandai yang kurang merasa lega dan bahagia hidup di republik yang sudah berusia 62 tahun ini. Karena memang masih banyak PR (Pekerjaan Rumah) yang harus diselesaikan di alam kemerdekaan ini. Di depan mata kita, terbentang persoalan kemiskinan, pengangguran, korupsi yang semakin merajalela, pelanggaran hukum tanpa penindakan yang tegas, tindakan atau aksi di luar jalur hukum dan sebagainya.
Sementara itu, hedonisme yang menghinggapi sebagian masyarakat kelas menengah ke atas, memunculkan demoralisasi secara massal. Apalagi ditambah bumbu tayangan media elektronik yang tidak lagi membumi. Mereka seakan tidak lagi mempedulikan masa depan bangsa ini. Kebebasan digunakan untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya, tanpa mau tahu akan dikemanakan hasilnya. Kebebasan dijadikan lahan untuk menumpuk dan mengeruk kekayaan, tanpa mau peduli haram atau halal harta yang diperolehnya.
Melihat kenyataan tersebut, tampaknya ada sesuatu yang salah dalam memahami makna kemerdekaan Wajar, kalau Suto, Noyo, Norogenggong dan warga lainnya yang menggunakan kesempatan di alam kemerdekaan ini selalu berguman dengan pikiran usil, ‘’Apa kita ini sudah Merdeka Satus Persen?’’

Tidak ada komentar: