Jumat, 29 Juni 2007

angka

M Kahono Teguh S

Apalah arti sebuah angka. Kalimatnya memang sangat sederhana, dan terkesan tidak ada maknanya sama sekali. Sebab, bagi sebagian orang angka hanya suatu lambang yang digunakan menghitung sesuatu yang berwujud. Ataua sekadar penomoran dari sekelompok anak manusia, benda dan sejenisnya dalam satu barisan. Sebagaimana guru yang mengajarkan kepada siswanya dalam menghitung.
Apakah benar arti angka sesederhana itu? Kalau mau menyimak, angka memiliki arti yang sangat kompleks. Saking rumitnya, orang pun akhirnya melakukan berbagai interpretasi atau mengartikan angka dengan cara yang sangat beragam.
Bahkan, angtka juga mampu menyihir ratusan, ribuan bahkan jutaan manusia di muka bumi ini. Buktinya, angka juga dipercaya memiliki nilai magis yang sangat berpengaruh dalam perjalanan hidupnya.
Saking kuatnya sihir angka itu, membuat sebagian besar orang berpikir asosiatif. Yakni dengan menghubung-hubungkan angka dengan berbagai persoalan kehidupan sehari-hari. Dari perilaku sampai kepribadian manusia, bahkan nasib manusia pun seakan ditentukan oleh angka. Misalnya, angka satu (1) yang melambangkan sifat matahari, ego, bijak dan sebagainya. Angka dua (2) yang diasosiasikan dengan sifat bulan, temperamen, pengatur, dan seterusnya. Demikian halnya dengan angka 13 yang dianggap sebagai angka pembawa sial. Karena itu, banyak yang enggan menggunakan angka 13 dalam berbagai hal.
Apakah di dunia super modern seperti sekarang ini, orang masih percaya dengan pengaruh magis dari angka-angka yang diperoleh? Jawabnya, tentu saja masih. Bahkan, kepercayaan terhadap angka semakin besar dan menjadi penetu nasib anak manusia. Ini sebagaimana yang terekam di dunia pendidikankita. Angka menjadi penentu nasib peserta didiknya. Karena angka-angka itulah nasib peserta didik ditentukan. Termasuk ribuan sarjana yang setiap tahun diluluskan dari berbagai universitas dan perguruan tinggi.
Kemampuan angka menyihir sang penciptanya –angka itu yang menciptakan manusia— melahirkan manusia yang sering melupakan sesuatu yang justru sangat esensial dalam kehidupan. Buktinya, peserta didik yang harus mengejar angka-angka besar (delapan, sembilan dan sepuluh) menjadi lupa lingkungan, bahkan sering menjadi asosial.
Ini seperti terlihat pada sekolah yang ingin dikatakan favorit, tidak sekadar berebut calon peserta didik yang memiliki angka besar. Mereka juga berusaha dengan berbagai cara, agar anak didik yang diluluskan pun meraup angka-angka besar. Ini dikarenakan semua berpatokan dengan angka yang dihasilkan melalui tes selama tiga hari. Bayangkan saja, usaha kerja keras peserta didik selama tiga tahun ternyata hanya dievaluasi selama tiga hari.
Siapa yang disalahkan menjadikan angka sebagai patokan nasib anak manusia? Sudah tentu manusianya itu sendiri. Termasuk mereka yang memiliki otoritas di bidang pendidikan. Karena angka itulah yang menentukan mampu tidaknya mengikuti anak manusia mengikuti jenjang pendidikan berikutnya.
Kenyataan itulah yang menjadikan ratusan ribu orang tua selama bulan Juni-Juli ini dibuat pusing tujuh keliling oleh angka-angka yang diperoleh putra-putrinya. Mereka harus kalang kabut mencarikan sekolah yang dianggap terbaik bagi generasi penerusnya.
Situasi dan kondisi serupa tidak hanya terjadi di lingkup pendidikan dasar dan menengah, karena di jenjang pendidikan tinggi juga sama. Mereka berpatokan pada angka besar lantaran desakan pasar.Sang dosen seakan ‘diwajibkan’ memberi angka besar kepada mahasiswanya. Harapannya, sarjana yang dihasilkan mampu meraih angka besar (baca indeks prestasi, pen.).
Lingkaran ketaklukan kita terhadap angka merembet pada dunia kerja. Kini hampir semua lembaga atau institusi lebih mementingkan angka yang tertera dalam secarik kertas, dibanding melihat kemampuan yang sebenarnya.
Untuk memecah lingkaran ketaklukan kita terhadap angka sangat sulit. Semua sudah percaya dengan apa yang diciptakan tersebut merupakan sesuatu yang mutlak diyakini kebenarannya. Adalah sebuah keanehan, kalau kita harus berebut angka besar dan dipusingkan dengan angka besar yang kita ciptakan sendiri. Padahal, seharusnya kita sadar bahwa nasib manusia tidak bisa ditentukan oleh angka semata. Terutama masa depan anak-anak kita sebagai generasi penerus bangsa ini.

Tidak ada komentar: