Kamis, 28 Juni 2007

Perubahan Orientasi

HM Kahono Teguh S
Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional, dua peristiwa penting yang jatuh pada 2 dan 20 Mei ini, menjadikan Mei sebagai bulan yang sangat bermakna dalam perjalanan bangsa ini. Melalui pendidikan bangsa dapat bangkit dari keterpurukan.
Kalau di masa lalu keterpurukan itu lantaran penjajahan dari bangsa lain yang berabad-abad lamanya, kini keterpurukan justru datang dari dalam sendiri. Salah satu yang mencolok adalah masalah kemiskinan yang masih belum juga terentaskan. Buktinya, angka kemiskinan pun dari tahun ke tahun semakin melejit. Wajar kalau ada yang mengatakan kemiskinan ini jauh lebih berbahaya dibandingkan penyakit menular.
Ini menjadikan kemiskinan seakan merupakan bahaya laten yang sangat sulit untuk diatasi. Karena kemiskinan itulah yang membuat jutaan orang mengalami kesulitan dalam memperoleh akses dan haknya. Termasuk memperoleh pendidikan yang memadai.
Sejumlah program pengentasan kemiskinan dicanangkan, namun masih belum mampu mengatasinya secara tuntas. Apalagi upaya pengentasan kemiskinan dilakukan secara parsial. Artinya, penanganan dan pengentasan kemiskinan hanya melihat dari satu sisi, tanpa melihat faktor lain yang ikut berpengaruh, seperti melihat faktor sosial budaya masyarakat secara utuh.
Tidak hanya itu, program pengentasan kemiskinan ini juga lebih disebabkan sebagian besar programnya bersifat karikatif. Ironisnya, program ini dicanangkan bersamaan dengan proses pemiskinan masyarakat secara sistematis. Ini terjadi sejak pencanangan modernisasi yang berorientasi pada materialistis. Harapannya tentu untuk mengejar ketertinggalan negeri ini dari masyarakat dunia.
Modernisasi di semua sektor –termasuk sektor pendidik-- yang digadang-gadang sebagai jawaban justru menjadi senjata makan tuan. Ini sebagaimana yang diungkapkan sejumlah pakar. Terdapat sejumlah penyakit akibat dari modernisasi. Kehancuran lembaga dan cara hidup tradisional sering menimbulkan disorganisasi dan anomali. Perilaku penyimpangan dan kenakalan meningkat. Ketidakselarasan di sektor ekonomi dan tidak sinkronnya perubahan berbagai subsistem mengakibatkan pemborosan dan ketidakefisienan.(Piotr Sztompka: Prenada; 2007:157).
Adalah wajar bila muncul pandangan yang mengatakan kemiskinan sebagai buah dari kesalahan negara/pemerintah dalam mengurus warganya. Terutama mereka yang ada di pedesaan atau di pinggiran. Suntikan virus anti kemiskinan melalui pendidikan dengan label pembangunan dan pengentasan kemiskinan, justru semakin mematikan pertumbuhan dan perkembangan kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Pola adopsi secara membabi buta tanpa menyesuaikan latar belakang sosial budaya menjadi penyebab utama munculnya disharmoni, disorganisasi dalam masyarakat.
Pandangan karikatif mengetas kemiskinan yang menonjol itu juga berimbas pada lembaga pendidikan. Orientasi kepada materialis menjadi lebih penting, dibandingkan pada kualitas pendidikan itu sendiri. Memang bukan sepenuhnya kesalahan pada lembaga pendidikan atau mereka yang berkecimpung di dunia pendidikan, karena mereka memang tidak bisa menahan derasnya arus modernisasi.
Sebagaimana lembaga ekonomi, kini lembaga-lembaga pendidikan pun ikut ramai-ramai berorientasi kepada produk. Meluluskan peserta didik sebanyak-banyaknya menjadi targetnya. Soal pasar mampu menyerap atau tidak, bukan lagi tanggung jawabnya.
*GM Radar Madiun

Tidak ada komentar: