Kamis, 28 Juni 2007

peran perempuan


HM Kahono TS

Kado memilukan mewarnai puncak peringatan hari Kartini di Madiun. Waktu yang dianggap paling tepat untuk mendiskusikan kembali peran emansipasi kaum perempuan ini, justru yang terjadi adalah kepedihan dan keprihatinan yang sangat dalam. Kado itu berupa adanya peristiwa yang menimpa salah seorang Kartini di Kabupaten Madiun lantaran tindakan di luar rasa kemanusiaan.
Peristiwa ini membuat kita harus berulangkali ngelus dada. Peristiwa ini pula yang membangkitkan ingatan kita terhadap kasus kekerasan yang silih berganti dan seakan tak pernah berhenti. Adalah wajar kalau saat ini seluruh elemen masyarakat merenung dan melakukan intropeksi diri. Ada ada sesuatu yang salah dengan masyarakat kita atau masyarakat memang sudah permisif dalam menanggapi perilaku menyimpang?
Untuk menjawab semua pertanyaan itu, tentu diperlukan sikap bijak dari semua elemen masyarakat. Karena selama ini sikap bijak ini sangat sulit didapat, apalagi kalau sudah berhubungan dengan sebuah kepentingan.
Sikap bijak ini diperlukan untuk dapat melihat semua persoalan dengan jernih. Sehingga tidak muncul saling menyalahkan atau saling tuding. Aksi kekerasan –apapun bentuk dan akibat yang ditimbulkannya—merupakan bentuk dari perilaku menyimpang dari norma yang ada. Dari yang paling berat, seperti membunuh, merampok, memeras sampai mempraktikkan penipuan dengan model gendam. Tidak hanya itu, perilaku menyimpang juga sering diperlihatkan oleh sejumlah artis yang menjadi idola masyarakat. Ini seperti yang sering dipertontonkan melalui program infotaiment di layar kaca.
Maraknya suguhan aksi kekerasan itu seakan menunjukkan kepada kita tentang kondisi masyarakat yang anomie. Artinya, situasi dan kondisi penyimpangan yang terjadi itu lantaran adanya ketegangan dalam struktur sosial yang berakibat tekanan pada warganya yang akhirnya berperilaku menyimpang.
Ketegangan itu muncul lantaran di mata masyarakat, kesuksesan seseorang lebih sering diukur dalam bentuk pencapaian dalam meraih materi yang diwujudkan dalam berbagai bentuk. Seperti kekayaan, kemakmuran, pendidikan yang tinggi sebagai simbol kesuksesan seseorang.
Kriteria yang tidak tertulis seperti itulah menjadikan individu yang terbatas dalam kepemilikan akses, mengalami tekanan yang sangat luar biasa beratnya. Untuk dapat meraih sukses sebagaimana kriteria tersebut, jelas bukan pekerjaan yang mudah dan murah. Kata orang, Jer Basuki Mowo Bea.
Faktor sikap masyarakat yang mulai materialistis ini banyak membuat orang lupa diri, menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Seperti perampok yang kini kini semakin nekad, tidak hanya harta bendanya yang diincar. Nyawa pun juga sudah tidak ada harganya lagi. Bahkan ada suatu hasil penelitian yang menggambarkan, pelaku tindak kriminal di kepolisian paling banyak adalah mereka yang miskin, orang berkelas sosial rendah dan kecilnya kesempatan memperoleh material.
Apakah kita termasuk diantara anggota masyarakat yang materialistis? Apakah kita termasuk orang yang menilai sesuatu dari sisi luarnya saja, tentu kembali pada kejujuran dalam menilai diri sendiri. Karena sikap tidak jujur terhadap diri sendirilah yang sering diperlihatkan.
Tidak hanya kondisi masyarakat yang anomie sebagai penyebab maraknya tindak kekerasan. Sikap masyarakat yang semakin permisif –yakni sikap yang serba boleh—membuat nilai-nilai yang semula dijunjung tinggi mulai luntur dan hilang.
Kehidupan privacy yang semula tabu untuk diketahui orang lain, kini menjadi sesuatu yang dianggap lumrah. Lihat saja tayangan infotaiment, bagaimana seorang anak bertengkar hebat dengan ibunya menjadi sajian keseharian. Kasak-kususk kehidupan privacy juga menjadi bahan berita yang cukup favorit dan seterusnya. Padahal, nenek moyang kita mengajarkan tabu membuka aib atau masalah keluarga kepada masyarakat. Karena keluarga merupakan lembaga atau institusi sosial yang paling depan mengajarkan kepada anak cucu kita tentang penghormatan terhadap norma sosial.
Apakah aksi kekerasan itu lantaran kondisi masyarakat yang anomie atau sikap masyarakat yang permisif, semua itu tergantung dari kejujuran dalam menilai diri kita sendiri.



Tidak ada komentar: